eS Teler Vatikan

Barang jadul bisa mengorbit kembali, juga lewat medsos. Salah satunya soal S3 Vatikan. Beberapa pertanyaan masuk ke inbox seputar soal ini; salah satunya menanyakan di Vatikan saya sampai es berapa.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk saudara-saudari saya yang secara tulus hati mau melakukan taaruf atau tabayun supaya terhindar dari kebodohan yang menggemaskan. Bukan apa-apa, kebodohan ini adalah makanan empuk untuk mereka yang hidupnya berluka batin tanpa bisa mengolahnya dan mereka ini bisa jadi mangsa lezat kekuatan jahat yang hendak mencabik-cabik kebangsaan yang dengan susah payah sudah dibangun para pendahulu dengan pengorbanan yang tidak ringan.

Salah seorang kawan mengajar di kelas magister sebuah universitas Islam dan sebagai introduksi, ia membuka pertanyaan apa saja sekadar untuk membongkar asumsi-asumsi yang terbangun karena tak pernah ada perjumpaan dengan agama lain. Salah satu pertanyaan itu kurang lebih nyangkut-nyangkut setiap berapa waktu kawan saya itu mendapat jatah baju dari Vatikan.
Asumsinya ialah, karena Gereja Katolik itu begitu hirarkis dan satu komando dari Vatikan, juga baju pastornya pun adalah jatah seragam dari pusat sana.

Tak satu sen pun uang dari Vatikan saya terima, bahkan ketika saya mengambil matrikulasi di salah satu universitasnya. Itu karena beasiswa dari Jerman. Untuk beli gelato (bacanya jelato saja ya) pun tak ada subsidi dari Vatikan. Boleh dikata, saya gak ada urusan dengan Vatikan di luar kepentingan layak tidaknya saya ditahbiskan jadi imam alias pastor. Itu mirip halnya dengan pengertian bahwa hukum agama yang diresmikan Vatikan mengikat hati nurani orang Katolik, sehingga tak ada polisi hukum yang akan mendakwa misalnya orang Katolik yang terbukti berpoligami. Sanksi dari Gereja Katolik biasanya berupa larangan yang bersangkutan untuk menerima hosti suci dalam perayaan Ekaristi. Akan tetapi, lagi-lagi, sanksi itu cuma mengikat suara hati orang. Kalau orangnya nekat juga tak ada polisi hukum yang akan mendakwanya; tentu saja ada oknum yang hendak menempatkan dirinya sebagai polisi hukum Gereja. Kembali lagi ke hati nuraninya…

Hati nurani orang bisa dipenuhi dengan perkara duniawi, meskipun diharapkan perkara itu diterangi oleh ‘apa yang dipikirkan Allah’. Jelaslah, tak ada orang yang tahu persis apa yang dipikirkan Allah, tetapi sekurang-kurangnya, semakin orang dikuasai iblis, semakin ia dikuasai oleh pikiran-pikiran manusiawi belaka. Contohnya seperti kemarin saya singgung soal orang berpikir seperti komputer. Adanya bukan relasi ‘I-Thou‘, melainkan ‘I-it‘. Manusia tidak lagi jadi pribadi, tetapi benda. Orang jadi kata benda konkret seperti perkawinan adalah kata benda abstrak. Kalau orang bisa berpikir seperti komputer, begitu juga orang beragama bisa berpikir seperti komputer.

Misalnya, ada tren gerakan tanpa pacaran: kamu aku jebret njuk kawin, gada taaruf. Perkawinan lalu bukan lagi soal relasi dua subjek pribadi, melainkan hubungan dua objek kepentingan politik, ekonomi, agama, dan seterusnya. Jadi, dari situ bisa muncul usulan supaya orang kawin silang: yang miskin wajib married dengan yang kaya supaya keadilan sosial terjadi. Begitulah cara berpikir ala komputer yang menghasilkan robot-robot, mungkin asli bikinan dalam negeri.
Bisakah orang beragama berpikir dengan cara pikir yang melibatkan Allah dalam hidupnya?

Tuhan, mohon rahmat supaya kami semakin mengenali cara berpikir-Mu. Amin.


Kamis Biasa VI A/2
20 Februari 2020

Yak 2,1-9
Mrk 8,27-33

Kamis Biasa VI A/2 2014: Put Your Liberating Glasses On!