Ilang Nyawa Loe

Salah satu kritik salah seorang penasihat akademik terhadap paper saya ialah bahwa saya mempromosikan sebuah pendekatan dengan menjelek-jelekkan pendekatan lain. Mak jegagik saya tersadar, kalo gitu apa bedanya dengan lulusan S3 Vatikan itu dong?
Saya baca ulang kalimat dalam paper saya dan saya temukan rujukan yang saya pakai. Sebetulnya saya tidak menjelek-jelekkan pendekatan lain sih, cuma memang acuan paper yang saya pakai mengindikasikan suatu tendensi yang bikin saya tidak memilih pendekatan lainnya itu. Andai saja saya temukan kesalahan paper acuan itu, saya akan protes penulisnya karena melakukan kebohongan publik.🤣

Herannya, di tanah air ini kok kebohongan publik bagaikan teman-tapi-mesranya kebodohan publik ya? Kalau dianggap menguntungkan ya diamkan saja, kalau merugikan, barulah kerahkan masa untuk demo ganyang ras anu agama inu, seakan lupa bahwa kebohongan, entah merugikan atau menguntungkan, tetaplah penipuan.

Saya pastor Katolik, dan saya mengerti bahwa beberapa gelintir dari sekian banyak pastor itu bisa mléngsé karena problem psikisnya. Celakanya bukan bahwa yang mléngsé itu menanggalkan jubahnya dan tidak jadi pastor lagi. Kalau itu ya malah bagus toh, dengan harapan bahwa yang bersangkutan menemukan jalan panggilan Tuhan, menemukan hidayahnya? Saya dukung seratus persen!

Bahkan kalau setelah tidak jadi pastor, lalu berpindah agama, itu juga saya dukung sepenuhnya. Yang mengganjal saya ialah kalau setelah ia berpindah agama, lalu ia mengumpulkan pundi-pundi hartanya dengan menjelekkan agama Katolik. Maaf, ini bukan karena saya tak mau agama Katolik dijelek-jelekkan. Saya sudah tahu sejak lama bahwa agama Katolik ya jelek, juga korps pastornya, wong ya sama-sama makan nasi. Tak usah dijelek-jelekkan, sudah jelek sendiri. (Kalau karena ini banyak umat Katolik yang hijrah sehingga yang Katolik makin sedikit, ha rak ya malah bagus toh kerjaan saya berkurang?😂😂😂 Just kidding, tapi ada benernya juga: ngapain mempertahankan gerombolan orang banyak yang merasa diri sempurna?)

Ketidakrelaan saya bukan bahwa yang bersangkutan berpindah agama, wong itu hak azasinya kok, melainkan bahwa problem psikisnya belum selesai dan akibatnya pemeluk agama lain yang jadi korban pembodohan (lalu problem psikis dan iman mereka terpelihara, gak kunjung selesai).

Itulah gambaran keadaan yang dikatakan Guru dari Nazareth dalam teks bacaan hari ini: apa gunanya sih orang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya?
Nyawa di sini artinya lebih dekat dengan psike yang juga dipelajari psikologi dan persis itulah tadi yang saya maksudkan dengan pastor atau pemuka agama mana pun yang tak lepas dari problem psike. Prestasinya bisa luar biasa seabrek, tapi itu tak ada gunanya kalau cuma jadi simtom problem psikisnya, bukan karena sungguh-sungguh mengikuti hidayah Allah. Penampilannya bisa luar biasa salehnya, tapi tiada faedahnya kalau cuma muara dari ketakutan pada masa depan suramnya.

Saran Guru dari Nazareth sebetulnya kena juga untuk generasi milenial, yang katanya suka yang receh-receh. Saya juga suka yang receh-receh, tapi asal itu tak dimutlakkan dan orang mau memberi waktu untuk askese, kiranya ‘kehilangan nyawa’ tadi bisa perlahan-lahan dibenahi.

Tuhan, mohon rahmat untuk bertekun dalam harapan dan cinta-Mu sehingga iman kami sungguh-sungguh hidup dalam perjumpaan dengan sesama makhluk-Mu. Amin.


JUMAT BIASA VI A/2
21 Februari 2020

Yak 2, 14-24.26
Mrk 8, 34 – 9,1

Posting Tahun A/2 2014: Faith Synchronized!

1 reply