First Things First

Pada umumnya orang takut kegelapan, kalau bukan dalam arti denotatif, ya konotatif. Saya bukan perenang mahir, dan ketika untuk kali pertama melakukan snorkeling tanpa tutorial dari mana dan siapa pun, saya kegirangan setengah mati melihat aneka ragam ikan ciptaan Tuhan. Saking girangnya, saya tak sadar bahwa ikan-ikan itu bergerak ke tempat yang latar belakangnya hitam, gelap sekali, pětěng ndhědhět. Hiii…. saya berusaha sebisa saya tak mengikuti arus air laut.

Saya tidak takut warna hitam, tetapi kegelapan itu adalah simbol akan sesuatu yang ada di luar jangkauan pengetahuan saya. Saya tidak tahu apa yang bisa muncul dari kegelapan itu. Kalau yang muncul itu Mera dan Aquaman, saya tak perlu takut, karena saya tahu mereka makhluk yang baik hati. Kegelapan, dengan demikian, adalah juga soal tertutupnya akses pengetahuan. Keadaan ini biasanya justru menimbulkan ketakutan, bukan karena objeknya sendiri menakutkan, melainkan karena orang berhadapan dengan ‘misteri’ yang belum terungkap. Ini paralel juga dengan virus korona, semakin tak terungkap, semakin orang bertendensi takut: jangan-jangan gini, jangan-jangan gitu.

Teks bacaan hari ini menunjukkan bahwa Allah secara bertahap menyingkapkan misteri-Nya sebagai terang yang membawa pengetahuan dan kegembiraan dalam hidup manusia. Orang yang buta sejak lahir merepresentasikan bagaimana manusia membuka wawasan atau kategori berpikirnya sampai akhirnya melihat kehadiran Allah sendiri dalam hidupnya. Awas, saya tidak mengatakan bahwa Guru dari Nazareth oleh orang buta itu semula cuma diketahui sebagai orang bernama Yesus, lalu ditangkapnya sebagai nabi, dan akhirnya diketahuinya sebagai Allah. Nay nay nay, dan saya tak akan omong soal kristologi atau gagasan trinitas di sini. Virus korona saja belum tuntas, mau bahas trinitas gimana

Mengambil sudut pandang si buta sejak lahir, pembaca dapat mengerti bahwa kesadaran akan Allah pada awalnya berasal dari apa kata orang, yang dihubungkan dengan pengalamannya sendiri. Faktanya ialah bahwa ia sembuh dari kebutaan sejak lahir dan yang menyembuhkannya adalah orang yang disebut Yesus. Setelah sembuh, ia terlibat diskusi dengan pemuka agama dan ketika ia ditanyai pendapatnya soal sosok yang menyembuhkannya, dengan berani ia mengungkapkan dirinya: kalau tak datang dari Allah, gak mungkin ia bisa menyembuhkan orang buta sejak lahir. Ia mestilah nabi. Keyakinannya itu kemudian mendapat peneguhannya ketika ia berjumpa secara pribadi dengan sosok yang dianggapnya sebagai nabi. Di situ, ia mengakui bahwa penyembuhnya membuka terang yang berasal dari Allah sendiri.

Virus korona, paralel dengan kebutaan, lama kelamaan membongkar paradigma kehidupan. Meskipun sains berhasil menunjukkan apa yang terpenting bagi hidup manusia, orang tak kunjung hidup sesuai dengan temuan sains itu. Yang dihidupi hanya yang bagian mempermudah, hanya teknologinya, bukan teologinya. Yang didewa-dewakan orang hanya modernitasnya, bukan spiritualitasnya. Yang diagung-agungkan hanyalah impresi, bukan substansi.
Virus korona datang dan semoga semakin banyak orang yang mulai mengerti first thing first dalam hidupnya. Di belahan dunia lainnya bisa jadi orang memupuk ketakutan dan gèk-gèkisme (jangan-janganisme) sehingga alih-alih menghidupi first thing first, malah melakukan panic buying [termasuk beli senjata, dengan mitos pemberi rasa amannya].

Tuhan, mohon rezeki yang cukup supaya kami dapat melakukan apa yang penting bagi kemuliaan-Mu. Amin.  


MINGGU PRAPASKA IV A/2
22 Maret 2020

1Sam 16,1.6-7.10-13
Ef 5,8-14
Yoh 9,1-41

Posting 2017: From Heart with Love
Posting 2014: The Primacy of the Heart
*