Anda sewajarnya prihatin ketika melihat kerumunan di tempat nongkrong pada saat virulensi Covid-19 meningkat. Jangankan kerumunan orang-orang nongkrong gak jelas, bahkan kerumunan orang antre sembako pun pantas membuat Anda miris (dan mungkin kemropok pada gabenernya).
Di tempat tinggal saya ini, kepadatan lalu lintas hilang, tetapi tetap ada lalu lalang kendaraan, termasuk kendaraan saya. Asumsi saya, mereka yang lalu lalang ini punya disiplin first things first.
Yang ada di benak saya pada masa bencana begini ialah mereka yang paling terdampak secara ekonomis, yang tentu saja tolok ukur first things first adalah soal makan, yang berhubungan dengannya tentu kesulitan finansial. Jangan marahi saya kalau saya bocorkan rahasia bahwa kadang-kadang [sebetulnya sering sih] saya makan di angkringan, juga pada masa wabah ini. Tentu saja karena murah, tetapi dari sana saya bisa mendengar aneka perbincangan orang. Jauh hari sebelum kasus Covid-19 merebak, penjual nasi kucing sudah menengarai adanya perubahan akibat korona, tentu perubahan yang berdampak pada dirinya.
Orang-orang pinggiran yang terdampak barangkali adalah mereka yang butuh mata mikroskop untuk melihat bahayanya ciptaan super mungil penyebab Covid-19 yang menempel di tiang, pintu, meja, dan sebagainya. Akan tetapi, bahkan jika mereka percaya bahaya tanpa melihat dengan mata kepala sendiri pun, bahaya itu takkan sebanding dengan kebutuhan mereka untuk bertahan hidup. Yang menyedihkan saya ialah bahwa orang-orang seperti ini justru rentan sebagai objek, sebagaimana dicontohkan dalam berita mengenai operasi pasar bagi mereka yang membutuhkan sembako murah. Entah apa yang ada di benak dokter pengoperasi pasar: maksudnya mengatasi dampak virus korona tetapi caranya memberi jalan lebar bagi virus korona. Apa ya tidak ada cara selain operasi pasar toh, mboké? Kalau memang harus operasi pasar apa ya mesti mengabaikan social distancing?
Di tempat tinggal saya ini ada komunitas nasimutěr: anggotanya menyiapkan nasi bungkus dan mereka berkeliling kota memberikan nasi bungkus itu kepada yang kiranya memerlukan; pak ogah, tukang parkir, pengumpul sampah, pedagang koran, dan lain-lainnya. Menurut saya, justru pada momen seperti ini, komunitas nasimutěr sangat diperlukan untuk membantu mereka yang sangat terdampak wabah. Tentu saja, lebih keren lagi kalau komunitas seperti ini bersinergi dengan dinas sosial, misalnya, supaya bantuannya lebih tepat sasaran. Kalau ini terjadi, bahkan lockdown pun tak akan sulit dilakukan karena masyarakat sudah punya mekanisme untuk mengatasi tendensi orang untuk cari selamat sendiri. Usaha sektor informal ditutup pun tidak jadi begitu berat. Akan tetapi, saya maunya sih tiada lockdown. Pengandaiannya memang ada trust antara pemerintah, pelaku pasar, dan komunitas masyarakat pada umumnya.
Teks bacaan hari ini bicara soal trust juga, tetapi trust kepada sosok yang memungkinkan tiga pihak tadi bersinergi. Ini bukan lagi soal doktrin agama, melainkan soal bahwa orang sungguh meletakkan segala usaha dan jerih payahnya sebagai ziarah menuju Allah sendiri. Itu jugalah yang disampaikan salah seorang uskup bernama Martini: For now, let’s walk in trust and hope. Our pilgrimage is a symbol of our being created to rest in God only. Amin.
HARI SENIN PRAPASKA IV
23 Maret 2020
Posting 2019: Khawatir Percaya
Posting 2018: Terserah Kaulah, Tuhan
Posting 2017: Mbok Belajar Inklusif Dikit
Posting 2016: Kafir tapi Mikir
Posting 2015: Percaya atau Lihat Dulu?
Posting 2014: Dictum Factum
Categories: Daily Reflection
Gimana ya, soalnya kalau gak pergi kerja gak bisa makan sih. Jadi, bingung juga
LikeLike
Iya ya, tapi kalau bingung tinggal ikuti kata hati saja akhirnya😁
LikeLike