Santuy Kok Harus

Beberapa hari setelah kasus pertama Covid-19 diumumkan Presiden, saya melockdown limapuluhan orang generasi Z selama empat hari tiga malam di area seluas kurang dari dua hektar. Ini tidak main-main. Gawai disita. Yang membawa laptop bahkan meletakkannya di ruang pertemuan. Di Italia masih bisa terjadi orang menyanyi dan berteriak-teriak dari balkon atau beranda rumahnya selama lockdown. Di sini, mulut mereka boleh membuka hanya untuk makan-minum, itu pun tanpa suara. Silentium magnum (bacanya silensium manyum, artinya kurang lebih keheningan total). Sadis, teorinya…

Pada kenyataannya masa lockdown itu mereka lewati baik-baik karena (1) saya tak punya aparat untuk menghukum pelanggarnya dan (2) kebutuhan perut mereka benar-benar saya jamin (lha wong mereka ya sudah bayar sebelumnya). Kasak-kusuk di ruang makan tidak saya tegur, karena bisa saya mengerti setiap kali orang berdiam diri di hadapan orang lain, ia harus berhadapan dengan dirinya (pikiran, perasaan, dorongan) sendiri, dan itu bikin lebih menderita daripada berhadapan dengan orang lain. 

Yang mengharukan saya ialah bahwa mereka mau bekerja sama dengan Allah yang senantiasa hadir sejak mereka masuk ke dunia fana ini, dengan segala pengalaman baik buruk, trauma, ketergantungan, kekerasan, kesepian, keputusasaan, harapan, kekecewaan, kehampaan, kegembiraan, dan hiburannya. Lockdown yang saya terapkan dan mereka manfaatkan rupanya memberikan buah yang berdampak baik bagi kepercayaan diri, kesembuhan, transformasi, pertobatan hidup mereka. Syukur kepada Allah, saya tak perlu stres dalam mengeksekusi lockdown empat hari itu dan Dia sendiri yang bekerja. Kepercayaan mereka kepada Allah lebih bertuah daripada apa yang saya bicarakan.

Cerita hari ini berkenaan dengan seorang lumpuh sekian puluh tahun dan menganggap bahwa dalam hidupnya ini tak ada solidaritas sosial. Semua orang mencari selamat (kelompok) mereka sendiri. Siapa yang kesehatannya baik dan punya relasi dekat dengan yang imunitasnya kuat, dialah yang bisa bertahan. Ia tak terseleksi untuk masuk dalam solidaritas sosial itu.
Kehadiran Guru dari Nazareth mengubah asumsi si lumpuh. Semula ia berkeyakinan bahwa harus ada orang lain yang mencemplungkannya ke kolam. Harus ada solidaritas sosial bagi semua. Orang harus disiplin supaya tidak mencederai orang lain, dan seterusnya. 
Semua asumsi itu betul: solidaritas sosial sangatlah penting.

Akan tetapi, dalam hal ini, sifat normatif dengan kata modalitas “harus” tak ada relevansinya untuk diterapkan kepada orang lain. Gusti Allah saja memberi kebebasan kepada manusia! Mengapa ciptaan-Nya itu malah saling mengharuskan?
Logika Guru dari Nazareth sederhana sekali: kalau kamu mau sembuh, ya angkat saja tilammu itu. Tapi dilarang hukum agama!
Lha mau sembuh gak?
Ya mau dong!
Kalau mau, ya tafsirkanlah hukum agamamu supaya lebih insani, bukannya malah jadi nggilani.

Batas insani dan nggilani apa dong? Orang perlu kembali ke suara hatinya: mana yang membawa konsolasi, mana yang membawa desolasi. Tak mengherankan, Guru dari Nazareth berpesan kepada si lumpuh yang sembuh itu: sin no more, supaya tak terjadi yang lebih buruk lagi. Orang perlu waspada terhadap apa saja yang menggiringnya kepada desolasi.
Tuhan, mohon rahmat kemerdekaan untuk mencintai-Mu dalam upaya solidaritas di masa sulit ini
. Amin.


HARI SELASA PRAPASKA IV
24 Maret 2020

Yeh 47,1-9.12
Yoh 5,1-16

Posting 2019: Ganti Paradigma
Posting 2018: Cinta Rentenir

Posting 2017: Bangun Brow!

Posting 2016: Penggemar Harapan Palsu

Posting 2015: Mau Lu Apa?

Posting 2014: Will Thou be Made Whole?