Penggemar Harapan Palsu

Orang arogan, orang tak tahu diri, orang yang mau menang sendiri, dengan mudah akan menyalahkan orang yang ingkar janji sebagai PHP: pemberi harapan palsu. Ia lupa bahwa harapan itu tak bisa diborong di toko dan digelontorkan pada dirinya. Ia lupa bahwa harapan ada dalam dirinya, bukan di luar sana. Ia lupa bahwa dirinyalah yang menaruh harapan, bukan orang lain. Pihak lain memberikan janji, dia sendiri yang menaruh harapan.

So, kalau orang menganggap orang lain sebagai pemberi harapan palsu, itu mungkin malah jadi tanda bahwa dia sendiri menyukai harapan palsu. Barangkali malah ia menganggap hidup ini seperti lotre: hanya beberapa orang yang memenangkannya, sisanya cuma berpartisipasi mbayar produk! Dapet ya syukur, kalo ga dapet ya udah! Atau, barangkali malah ia memandang hidup ini sebagai perjudian, ada yang nasibnya untung, ada yang buntung dan lebih banyak yang buntung daripada yang untung. Ini bukan pandangan baru.

Pada teks hari ini digambarkan orang yang lumpuh selama 38 tahun menanti kesembuhan di tempat yang diharapkannya bakal memberi kesembuhan. Angka 38 menunjukkan juga kurun waktu satu generasi (bdk. Ul 2,14): dalam satu generasi itu tak ada tindakan solidaritas sama sekali terhadap si lumpuh ini. Akan tetapi, itu berarti bahwa semua orang pun berpikiran seperti si lumpuh: ya ini lotre, cuma satu pemenangnya. Kalau kamu beruntung ya syukur, kalau apes ya terima aja nasibmu! Baik orang banyak maupun si lumpuh sama-sama kehilangan harapan karena terkungkung oleh kultur yang mereka ciptakan sendiri.

Konon menurut penelitian arkeologis, di dekat si lumpuh memelihara harapan palsunya itu, ada tempat para ahli Taurat memberi kuliah hukum terhadap para mahasiswa. Ironis, bukan? Di bilik yang satu diajarkan Hukum Allah yang penuh kasih, di bilik sebelahnya orang miskin nan lumpuh dibiarkan. Hukum Allah tak menyentuh orang terlantar ini. Air di kolam menyucikan tempat ibadat, tetapi tak menyucikan orangnya. Orang mengoyakkan pakaian, tetapi mencongakkan hatinya (bdk. Yl 2,13). Di hadapan generasi yang tak punya solidaritas, di hadapan hukum Allah yang mandul itulah Yesus menyembuhkan si lumpuh.

Ngapain dia menyembuhkan si lumpuh? Untuk cari pengakuan? Cari pengikut? Orang itu gak kenal Yesus, dan ia menyebut Yesus dengan panggilan ‘Tuan’ atau ‘Sir‘ [ ya maafkan terjemahan Indonesianya yang sudah bias: Tuhan…] Barangkali Yesus mencari alternatif untuk membongkar paradigma lotre atau undian tadi melalui si lumpuh. Ketika mayoritas beranggapan kelumpuhan adalah kutukan Allah dan orang lumpuh itu jauh dari Allah, Yesus menegaskan,”Allah tetap bersamamu juga maka janganlah bikin dosa supaya hal buruk tak menimpamu.” Melanggar hukum Sabat? Jelas! Dan kalau Yesus berani melakukannya dengan konsekuensi mati, berarti memang menurutnya ada yang jauh lebih penting daripada hukum Sabat sendiri: kemurahhatian Allah sendiri! [Itulah juga arti nama Bethesda: rumah belas kasih, kemurahhatian]

Kemurahhatian Allah tak bisa diperlakukan seperti lotre, undian berhadiah, yang memposisikan orang jadi pasrah tanpa cawe-cawe atau ekstrem sebaliknya: banyak-banyakan membeli kupon. Kemurahhatian Allah terus menuntun orang supaya bertobat, membongkar harapan palsunya dengan solidaritas, dengan keterlibatannya sendiri.

Tuhan, semoga aku tak jadi penggemar harapan palsu. Amin.


HARI SELASA PRAPASKA IV
8 Maret 2016

Yeh 47,1-9.12
Yoh 5,1-16

Selasa Prapaska IV B/1 2015: Mau Lu Apa?
Selasa Prapaska IV A/2 2014: Will Thou be Made Whole?

2 replies

  1. saya jd ingat siswa sy yg berkebutuhan khusus (tuna netra) romo. yg sy perhatikan dr pngalaman hidupnya,justru orang2 disekitarnya yg mengabaikan atau merendahkannya,tdk bisa apa2 dsb. tetapi ia tetap berpengharapan dlm iman dan dlm hidupnya sehari hari. sy salut krn ia mempunyai paradigma yg justru berbeda dan melampaui dr orang2 sekitarnya yg notebene dikaruniai fisik yg lbh lengkap. sy melihat dlm konteks iman, kekurangan/kelemahan adlh juga cara Allah menghadirkan cintaNya.

    Like