Bagaimana di tengah pandemi korona ini orang bisa merayakan kabar sukacita? Bagaimana mungkin suasana prihatin diisi dengan sukaria? Mungkinkah orang bergembira dalam kesedihan? Bahkan seorang striker tahu benar bagaimana rasanya menceploskan bola ke gawang tim lawan yang sampai pada musim sebelumnya adalah tim yang dicintai bersama para suporter yang membesarkan namanya: ia memilih untuk tidak melakukan selebrasi atas golnya sendiri. Gembira membuat gol tetapi sekaligus sedih karena tim dan suporter lawan adalah mereka yang dicintainya. Ada konflik perasaan di situ, dan sulitlah menentukan perasaan mana yang menang.
Akan tetapi, perayaan kabar sukacita dalam Gereja Katolik dan Nyepi dalam agama Hindu serta pandemi Covid-19 memang tak perlu diletakkan dalam satu lapisan, matra, atau cakrawala. Saya hendak mulai dengan perayaan Nyepi yang menekankan empat laku tobat: amati geni, amati karya, amati lelungaan, amati lelanguan. Di situ ada unsur puasa yang poinnya bukan hanya soal tidak makan-minum (karena tak boleh menyalakan api, yang antara lain maksudnya tak masak memasak), melainkan juga bahwa orang mesti mengistirahatkan indranya, baik dari tuntutan bekerja maupun dari dorongan untuk mencari hiburan. Kalau hakikat Nyepi ini dijalankan, tentu coronavirus ikut berpuasa, dan penyebarannya bisa diredam, bahkan diakhiri jika semua sepakat dan kuat Nyepi dua minggu. Bukankah itu bisa jadi kabar gembira?
Kabar sukacita yang dirayakan di tengah masa tobat Gereja Katolik memang bukan hari raya besar, tetapi ini salah satu momen penting dalam lingkaran liturgi untuk mengerti misteri Kristus. Teks selalu diambil dari narasi woro-woro bin pewartaan malaikat kepada Bunda Maria: bahwa ia akan mengandung dan melahirkan anak, bahkan meskipun ia belum bersuami.
Saya tidak tahu apakah kabar seperti ini akan menggembirakan bagi perempuan zaman now, tetapi sekali lagi, sukacita yang dirayakan hari ini tidak merujuk pada momen bahwa orang memperoleh capaian indrawi tertentu. Sebaliknya, di pihak Bunda Maria ada semacam laku tapa yang jadi konsekuensi kalau ia menjawab ‘ya’ kepada pewartaan itu. Semua rencana buyar dan bahkan ada bahaya mengancam dalam ranah kultur di tempat tinggalnya. Akan tetapi, mau apa lagi? Bunda Maria mesti memilih antara mengikuti rencana ilahi dan membangun usaha manusiawi yang sudah diplotnya bersama Yusuf. Di akhir kisah diketahui bahwa Bunda Maria menjatuhkan pilihan pertama: fiat mihi secundum verbum tuum, terjadilah padaku seturut perkataanmu.
Kalau begitu, hari raya kabar sukacita bukan lagi soal memperingati peristiwa dua ribuan tahun lalu, melainkan soal merealisasikan potensi kekuatan Allah dalam hidup manusiawi (itu maksudnya inkarnasi), sebagaimana juga dihayati dalam perayaan Nyepi.
Dalam terang ini, kabar sukacita di tengah pandemi bukan perayaan yang insensitif terhadap keprihatinan dunia. Sebaliknya, ini adalah momen transparan bagaimana Allah hendak merengkuh umat yang dicintai-Nya: lewat perawat dan dokter yang berjuang di garda depan, lewat pemangku kebijakan yang berupaya konsisten merealisasikan social distancing, lewat komunitas sipil yang bergerak membantu pemerintah, lewat siapa saja yang disiplin melakukan physical distancing, dan seterusnya.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya kami mampu mewujudkan sukacita-Mu dalam keprihatinan dunia kami. Amin.
HARI RAYA KABAR SUKACITA
(Hari Rabu Prapaska IV A/2)
Hari Raya Nyepi
25 Maret 2020
Yes 7,10-14; 8,10
Ibr 10,4-10
Luk 1,26-38
Posting 2018: Bosan Difitnah?
Posting 2017: Pakai Saja Èsêmku
Posting 2015: Hati Selektif
Posting 2014: The Joy of Life-Giving Choice
Categories: Daily Reflection