Dari sekian kesaksian mereka yang melakukan social distancing dengan working from home saya dapati kisah-kisah menarik nan lucu. Lebih dari itu, saya tangkap juga bagaimana orang mulai sadar akan apa yang sesungguhnya penting dalam hidup mereka, yang selama ini mereka abaikan begitu saja. Barangkali orang sebetulnya sadar akan apa yang penting, juga sebelum ada imbauan social distancing, tetapi mungkin tak berdaya merengkuhnya karena tuntutan lingkungan, baik dari dunia kerja maupun budaya. Fenomena yang dipaparkan dengan kehadiran virus korona menunjukkan contoh jelas bahwa mayoritas warga dunia hidup dalam created environment: lingkungan buatan, yang sudah dimodifikasi dengan aneka hasil teknologi.
Dalam masyarakat seperti ini, ancaman dari alam (gempa, banjir, badai) tetap ada, tetapi mitigasi bencana yang juga mengandalkan teknologi semakin berkembang. Karena itu, risikonya mungkin saja tidak seberat sebelum ada teknologi. Yang runyam justru adalah risiko yang muncul akibat lingkungan buatan tadi. Ini bisa disebut sebagai manufactured risk, yang tampaknya sangat sulit, kalau bisa, ditangani manusia tanpa ada paksaan dari luar. Contohnya lagi-lagi dipaparkan oleh fenomena yang dipicu oleh virus korona. Selama masa social distancing, sewaktu lockdown, udara begitu bersih, air bening, biota laut kembali bergeliat, polusi suara berkurang, tetapi begitu masa itu selesai, tak butuh waktu lama untuk mengembalikan pencemaran lingkungan.
Sebetulnya orang mengerti bahwa mereka lebih menyukai lingkungan udara bersih, air jernih, biota laut asri, kebisingan minim, tetapi apa yang bisa dibuatnya untuk menghentikan created environment? Seberapa banyak orang yang menghidupi semangat back to nature untuk mengimbangi created environment itu?
Teks bacaan-bacaan hari ini memaparkan bagaimana Musa dan Guru dari Nazareth menuntun bangsanya. Musa melobi Allah supaya tak murka kepada umat-Nya yang jelas-jelas membangun created environment yang tak sejalan dengan perintah-Nya. Mereka membuat ilah selagi Musa berupaya menemukan tuntunan Allah. Seakan tak ada kesabaran, mereka mencari jalannya sendiri untuk memuja Allah yang sesungguhnya. Barangkali mereka sendiri juga mengerti bahwa mereka memuja kepalsuan, tetapi apa mau dikata, tuntutan sosial mendesak mereka untuk mencari jalan keluar yang cepat.
Dinamika seperti itu juga dihidupi pemuka-pemuka agama. Guru dari Nazareth mengingatkan bagaimana orang beragama memecahkan rahasia Kitab Suci, seakan-akan oleh Kitab Suci itulah mereka mendapatkan hidup kekal. Mereka lupa bahwa yang terutama ialah orang membangun relasi dengan pribadi yang ditunjukkan oleh Kitab Suci itu. Siapakah pribadi itu, bukankah dalam Kitab Suci ada banyak pribadi yang dikisahkan (Adam, Abraham, Yakub, Musa, dan seterusnya)? Betul, dan kalau pribadi-pribadi yang dikisahkan dalam Kitab Suci itu dikenali baik-baik, pembacanya mesti menangkap bahwa aktor utamanya adalah Allah sendiri.
Aktor utama itulah yang rupanya malah kerap diabaikan bahkan oleh orang beragama. Mekanismenya ya seperti created environment tadi: karena menurut agama, Allah itu bla bla bla, lalu orang mengikuti saja yang dikatakan agama tanpa mengambil jarak terhadap agama, seakan-akan agama itu adalah given environment. Padahal, dalam agama mestilah ada manufactured risk, yaitu tambahan manusia sendiri yang bisa saja malah menjauhkannya dari Allah.
Ya Tuhan, semoga hati kami senantiasa kembali pada-Mu, yang mencintai kemanusiaan, yang adalah satu. Amin.
HARI KAMIS PRAPASKA IV
26 Maret 2020
Posting 2019: Berhati Nyaman?
Posting 2018: Dewan Cari Hormat
Posting 2017: Learning from Others
Posting 2016: White Lie
Posting 2014: Mana Berhalamu?
Categories: Daily Reflection