Bukan Akhir Segalanya

Anda mungkin sempat melihat foto seorang presiden yang baru saja kesripahan duduk sendirian menyeka wajah dengan punggung telapak tangannya. Sang pemimpin ini sebelumnya berpesan supaya stafnya tidak usah datang melayat dan fokus pada kerja penanganan Covid-19. Ia sendiri tidak berlama-lama dengan masa dukanya dan seusai pemakaman jenazah ibunya, segera mengikuti pertemuan dari istananya. Sementara di luar sana, ada juga makhluk yang terjangkit virus yang mungkin lebih mematikan daripada korona: segala waktu dipakainya untuk menghina orang-orang terdekat presiden, bahkan pada momen kematian.

Semakin jelaslah apa yang dimaksud dalam teks bacaan-bacaan hari ini. Silakan baca sendiri ya teks dari Kitab Kebijaksanaan: orang jahat berandai-andai bahwa dirinya ada di pihak yang benar dan mencobai, menguji, mencederai orang baik yang dianggapnya menjadi penghalang gelojoh hidupnya sendiri. Guru dari Nazareth merepresentasikan sosok yang jadi bulan-bulanan pemuka agama karena memang sepak terjangnya senantiasa mengganggu status quo mereka. Tentu bukan perkara bahwa Guru dari Nazareth ini hendak menggantikan posisi pemuka agama. Sama sekali tidak. Ia hanya menunjukkan bagaimana orang semestinya menemukan jalan menuju Allah. Celakanya, jalan menuju Allah memang tak bisa ditemukan dalam jalan kekuasaan, dan persis itulah yang rupanya dihidupi oleh pemuka agama. Ini bukan per se kekuasaan politik, melainkan kekuasaan pengetahuan akan Allah.

Guru dari Nazareth ini menjadi incaran penguasa dan teks hari ini merefleksikan bagaimana upaya para penguasa itu tak kunjung mendapatkan hasil karena ‘waktunya belum tiba’. Frase ini memang khas dalam tulisan Yohanes. Sejauh saya mengerti, penulis teks ini tidak mempersoalkan waktu linear atau kronos: belum tanggal sekian, jadi tak mungkin terlaksana. Tolok ukurnya bukan tanggal, yang adalah bikinan manusia, melainkan momen manusia klop dengan Allahnya. Ambillah contoh orang married. Tentu saja setiap pasangan punya tanggal pelaksanaannya. Akan tetapi, janji yang mereka buat sebetulnya tidak bisa direduksi pada tanggal jam tertentu. Secara formal memang orang mengatakan janji setia pada menit detik tertentu, tetapi apakah yang verbal itu klop dengan kedalaman hatinya, God knows. Kalau itu klop, barangkali memang sebelumnya sudah klop atau bahkan mungkin setelah selesai mengucapkan barulah klop.

Karena itu, juga dalam tren penyebaran virus korona, orang mungkin tergoda untuk melihat statistik angka, yang bisa membuatnya cemas atau takut; tetapi mungkin juga tak peduli pada angka, yang bisa memicu kecerobohannya dan tak memperhitungkan imbauan social distancing. Mana pun yang dipilih orang, alam punya hukumnya sendiri, dan pada momen respon manusia tidak klop dengan hukum alam itu, barangkali pada momen itu juga respon manusia tidak klop dengan hidayah-Nya.
Betul, angka kematian akibat virus korona bisa mengunci orang, tetapi kalau orang mau belajar sedikit dari kesendirian presiden, mungkin ia dapat mengerti bahwa sakit dan kematian bukanlah kata akhir dari jiwa yang senantiasa memikirkan apa yang bisa dibuatnya bagi kebaikan bersama.

Relasi baru dengan Allah dan ciptaan-Nya adalah kairos yang senantiasa dihindari mereka yang hidup tanpa harapan dan malah memelihara kebencian.
Tuhan, tambahkanlah iman kami supaya harapan tak terpadamkan oleh kekuatan jahat. Amin.


HARI JUMAT PRAPASKA IV
27 Maret 2020

Keb 2,1a.12-22
Yoh 7,1-2.10.25-30

Posting 2019: Diam-diam Manusia
Posting 2018: Jangan Sia-siakan Cinta

Posting 2017: 313: Untung Buntung

Posting 2016: Gajahlah Kebersihan

Posting 2015: Yakin Percaya Tuhan?

Posting 2014: Dekat di Mata, Jauh di Hati

2 replies

  1. “many things have been cancelled because of the coronavirus..
    Love is not one of them..”

    Fr. James Martin SJ

    #hormatku pada PakPresiden Jokowi

    Like