Karantina Cinta?

Kelemahan bukan menu favorit bagi kebanyakan orang, juga dalam masa pandemi saat ini. Kelemahan bisa jadi kambing hitam atas penyebaran virus yang menjadi-jadi: kelemahan fisik, kebijakan, ekonomi, mental, kultural, dan sebagainya. Untuk menghadapi pandemi ini orang mesti membangun kekuatan fisik, mental, dan bla bla bla itu dan dengan demikian, kelemahan bisa diatasi. Kekuatan, dalam segala ranahnya, menjadi primadona manusia dan kelemahan adalah oposisi yang mesti ditaklukkan.

Dalam catatan mengenai berpikir dari pinggiran, saya insinuasikan bahwa juga dalam hidup beragama, orang bisa memakai pendekatan kekuatan ini. Salah satu manifestasinya ialah keyakinan bahwa pusat agama ada di suatu tempat tertentu, alih-alih dalam hati dan budi manusianya. Akibatnya, orang bisa menangkap dimensi ritual-formal-legal dengan acuan satu tempat tertentu itu, yang diyakini sebagai pusat agama. Jika ada orang yang memanfaatkan keyakinan ini dan punya posisi, hadirlah kecenderungan korupsi. Ini bukan lagi soal money belaka, melainkan bahkan soal kebenaran.

Dalam teks bacaan kedua ditunjukkan bagaimana pemuka agama hendak melegitimasi pengetahuan agamanya dengan modal kekuasaan. Nikodemus, yang menyuarakan keagungan Hukum Taurat (tidak menghukum orang sebelum suaranya didengarkan dan dikaji sungguh apa yang dilakukannya), justru dihardik pemuka agama dengan pemutlakan nubuat seturut agenda pemuka agama itu sendiri: tidak ada nabi yang datang dari Galilea! Begitulah tendensi eksklusif orang beragama yang mau menafsirkan Kebenaran dengan perspektifnya sendiri, dengan kekuasaan sendiri, dengan kekuatan sendiri.

Virus korona, meskipun bukan virus mematikan seperti bisa ular Inland Taipan, membuka kedok betapa sesungguhnya manusia begitu lemah. Manusia menciptakan lingkungan seturut rasionalitasnya sendiri tetapi tergopoh-gopoh menanggung manufactured risknya, seperti juggernaut yang tak bisa dihentikan, bagaikan bola salju yang menggulung pembuatnya. Bahkan meskipun slogan ‘bersatu kita teguh bercerai kita runtuh’ begitu ampuh pada masanya, perlu ditafsir ulang seturut konteksnya. Dalam imbauan social distancing, slogan itu mesti dilepaskan dari dimensi fisiknya: baiklah bersatu, tapi dalam hati saja ya.😅

Pada momen keterpisahan fisik itu, pada saat manusia tampak lemah, dalam kesatuan hati dan budi, justru bisa terkuak cinta yang nyata. Tidak bermaksud promosi, dalam berita dapat Anda temukan bagaimana pengusaha produk fashion seketika menghentikan proyeknya dan menggantinya dengan membuat alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan. Soal sumbang menyumbang bukanlah perkara yang hendak saya sodorkan, melainkan bagaimana orang meletakkan kekuatan pada keyakinan akan Allah yang senantiasa memberi jalan pada mereka yang berkehendak baik. Sudah saya sampaikan, filantropi bisa jadi membuat orang terenyuh, tetapi hidup orang beriman tidak bermuara pada gerakan filantropis itu. Muaranya adalah cinta kepada Allah.

Seorang pembaca budiman yang sepengetahuan saya tak pernah saya jumpai, menyitirkan kalimat yang mak nyusss dari rekan sejawat di americanmagazine.org: Ada banyak hal yang ditiadakan oleh virus korona, tetapi cinta bukan salah satu darinya. Many things have been cancelled because of the coronavirus. Love is not one of them.
Bisa terjadi, cinta justru jauh lebih nyata dalam kelemahan daripada kekuatan arogan, entah tersembunyi atau terang-terangan sebagai riyā’.

Ya Tuhan, mohon rahmat ketekunan dalam kelemahan kamu untuk bekerja sama dengan-Mu. Amin.


SABTU PRAPASKA IV
28 Maret 2020

Yer 11,18-20
Yoh 7,40-53

Posting 2019: Iman Tipis-tipis
Posting 2018: Sunyi Sepi Sendiri

Posting 2017: Biar Tuhan Membalasnya

Posting 2016: Kamu Teman Siapa?

Posting 2015: Dilahirin Lagi?

Posting 2014: Conspiracy against “J”