Penerjemah yang baik memiliki kesetiaan ganda: setia pada kata-kata pembicara/penulis, dan setia pada bahasa pendengar/pembaca. Karena umumnya orang gagal menjaga kesetiaan ini, penerjemah kerap jadi pengkhianat. Ada pengkhianat yang cuma mengundang tawa (mereka yang ngerjain temen sewaktu belajar bahasa), tetapi ada pengkhianat yang menodai ayat-ayat Kitab Suci dan berujung pada pembantaian manusia lainnya.
Nabi Musa adalah penerjemah yang baik. Ia mengerti bagaimana Allah memandang kebobrokan umat-Nya, sekaligus paham dambaan suci umat-Nya. Hasilnya? Tuhan membatalkan murka-Nya kepada bangsa Israel. Ini tak perlu dimengerti secara literal. Dalam narasi Kitab Suci, mesti ada kadar antropomorfis tertentu: Allah seolah-olah seperti manusia yang bisa ngambek, menyesal, murka, dan sebagainya. Pokoknya, untuk keperluan hari ini, cukuplah dimengerti bahwa Musa menjadi penerjemah yang baik.
Ada iklan yang menarasikan seorang sopir yang tampak menjalankan fungsi penerjemah itu. Silakan cari di dunia maya, bisa dengan kata kunci iklan sopir indonesia youtube. Sopir ini menangkap kegalauan setiap anggota keluarga yang memengaruhi keharmonisan relasi mereka. Dia lalu mengambil aksi yang sinkron dengan tujuannya untuk merukunkan anggota keluarga itu. Dengan prinsip white lie (berbohong demi kebaikan?) dia merekayasa relasi keluarga itu. Hasilnya? Mereka tampak rukun. Apakah sopir ini menjalankan fungsi penerjemah? Tidak. Ia menjalankan fungsi pengkhianat. Pribadi-pribadi yang terhubung di situ hanya jadi objek rekayasa si sopir. Mereka tidak terlibat dalam proses membangun kerukunan itu sendiri. Loh, ya gapapa kan, Romo? Yang penting hasilnya baik.
Bergantung dari cara pandangnya ya. Setelah menonton iklan itu saya mendapati pesan utamanya bukan yang dituliskan pada akhir iklan “satu perhatian kecil adalah awal dari sebuah perjalanan penuh cinta”, melainkan bahwa white lie itu baik. Sopir mengobjekkan anggota-anggota keluarga itu. Demikian juga anggota keluarga itu menghidupi relasi yang rapuh karena dibangun atas dasar white lie tadi. Kerapuhan itu akan berujung kehancuran kalau tak ada ketulusan yang menyokongnya; dan ketulusan tak mungkin dilandaskan pada white lie. Ketulusan terjadi jika ada komunikasi antarsubjek, bukan komunikasi subjek-objek yang dibuat oleh sopir tadi.
Penulis teks Yohanes menyodorkan Yesus sebagai penerjemah yang baik juga, yang mengkomunikasikan imannya melalui kesaksian (d.a. keteladanan) hidupnya. Kata Paus Fransiskus: komunikasi iman hanya mungkin dilakukan dengan kesaksian, yaitu cinta. Komunikasi iman tidak dibuat dengan ide atau gagasan, tetapi dengan Sabda Allah yang dihidupi orang (yang digerakkan oleh Roh). Menurut St. Yohanes Kasianus (360-435M), teks suci kita tangkap sebagai sesuatu yang sudah kita alami, bukan sebagai sejarah asing yang belum kita dengar, melainkan sebagai sesuatu yang kita maknai dari kedalaman hati. Jadi, bukan studi Kitab Suci yang memberi makna pada ayat suci, melainkan pengalaman hidup sehari-hari.
Pengetahuan Kitab Suci tetap melayang kalo gak sambung dengan pengalaman hidup orang. Hidup orang menerangi ayat suci, dan ayat suci pada gilirannya memperkaya hidup orang. Kalau teks tak bicara apa-apa, itu bukan karena minimnya studi (atau doa), melainkan karena orang sendiri tak punya kedalaman hidup (yang jadi modal untuk memaknai teks), dan kedalaman hidup tak pernah dibangun oleh white lie.
Ya Tuhan, mohon rahmat supaya kami hidup dari kedalaman hati. Amin.
HARI KAMIS PRAPASKA IV
10 Maret 2016
Posting Tahun 2014: Mana Berhalamu?
Categories: Daily Reflection