New Clothes?

Masih ingatkah Anda cerita bikinan H.C. Andersen yang berjudul The Emperor’s New Clothes? Kalau saja Guru dari Nazareth itu membacanya, mungkin dia memakai cerita itu untuk menohok para ahli Taurat yang arogan dengan status mereka sebagai pemuka agama. Ceritanya sederhana sekali. Isinya, kata Wikipedia, about two weavers who promise an emperor a new suit of clothes that they say is invisible to those who are unfit for their positions, stupid, or incompetent – while in reality, they make no clothes at all, making everyone believe the clothes are invisible to them. When the emperor parades before his subjects in his new “clothes”, no one dares to say that they do not see any suit of clothes on him for fear that they will be seen as stupid. Finally, a child cries out, “But he isn’t wearing anything at all!”

Justru anak kecillah yang akhirnya membongkar cara pandang orang-orang dewasa yang silau dengan harga diri yang sebetulnya kosong. Akan tetapi, apa yang terjadi selanjutnya? Semua orang terbuka pikirannya atas kenyataan yang sebenarnya, bahkan si raja sendiri sebetulnya berpikir bisa jadi memang yang dikatakan rakyatnya benar; tapi sang raja tidak mau jadi anak kentang, bukan? Ia teruskan prosesi untuk menuntaskan arogansinya di atas kereta yang sebetulnya juga sudah tak ada lagi.

Seperti itu jugalah bahaya klerikalisme yang dihayati oleh para ahli Taurat. Seorang pemuka agama bisa jadi menikmati klerikalisme karena mendapat keuntungan darinya. Apa saja kebutuhannya sebisa mungkin akan dipenuhi umatnya. Ia bisa mendapat prioritas di rumah sakit atau di tempat layanan publik lainnya. Saya tuliskan ini bukannya tanpa pengalaman. Jelek-jelek begini, saya pernah bekerja di sebuah gereja dan tahu apa artinya klerikalisme bukan dari kamus, melainkan dari pengalaman konkret. Tidak gampang mengikuti apa yang dikatakan anak kecil dalam cerita H.C. Andersen tadi, apalagi kalau orang bekerja dalam ranah religius, yang begitu rentan politisasi, komodifikasi, instrumentalisasi, atau istilah apa lagilah untuk mengatakan modus.

Sekitar tiga puluh tahun lalu ketika ada kunjungan pemimpin umat Katolik sedunia, saya ikut rombongan untuk menyambut beliau. Bayangkan, Anda sudah mesti antri berjalan kaki sejauh dua kilometer sejak jam dua pagi untuk acara tujuh jam berikutnya. Ketika seluruh rangkaian acara hampir selesai dan ada kesempatan umat untuk melihat Paus itu berkeliling, orang-orang berbondong-bondong merapat ke tepi jalan, dan saya tidak mengerti mengapa mesti begitu. Saya memilih pulang mendahului.

Respek pantas diberikan secara maksimal kepada setiap pribadi, bukan karena fungsi atau statusnya yang bisa jadi secara hirarkis lebih tinggi atau lebih rendah, mayoritas atau minoritas. Coba jelaskan kepada saya dengan dalil bagaimana seorang Paus harus lebih dihargai daripada seorang kadus (kepala dusun), atau seorang presiden harus diberi respek lebih tinggi daripada sinden, atau seorang jendral mesti lebih dihargai daripada kopral! Tolok ukurnya pasti bukan kemahakuasaan Allah, melainkan kekuasaan manusiawi.

Itulah yang kiranya diwaspadai Guru dari Nazareth ketika murid-muridnya mau tak mau berhadapan juga dengan pemuka agama yang gila hormat. Kepada mereka diajarkannya keutamaan yang dicerminkan dalam tindakan berzakat yang dilakukan janda miskin: totalitas hidup yang dipersembahkan Allah tak pernah dikuantifikasi dan diletakkan dalam panggung kehormatan yang diciptakan dengan tolok ukur manusiawi. Sebaliknya, ketuntasan hidup beriman itu seperti garam dalam masakan, yang tak terlihat dengan mata tetapi berdampak dalam rasa. Saya teringat lagi kata riyā’, yang praktiknya ditentang dalam Islam, dan itu berarti dalam setiap pribadi yang hidupnya terarah dan berserah kepada Allah.

Tuhan, mohon rahmat kerendahhatian untuk mencintai-Mu sepenuh hati dalam solidaritas hidup kami. Amin.


Sabtu Biasa IX A/2
6 Juni 2020

2Tim 4,1-8
Mrk 12,38-44