Minggu lalu saya mengesahkan perkawinan pasangan dari ibu kota. Ini pelayanan yang paling menyenangkan karena saya menyelesaikannya dalam waktu kurang dari setengah jam!😂 Ini tentu bertentangan keinginan pasangan dan keluarga mereka untuk mengalami perayaan meriah dengan lagu megah dan dihadiri banyak kerabat dan handai tolan. Maklum, bahkan hanya untuk datang ke kota saya ini, pasangan pengantin dan keluarganya itu mesti mendapat surat izin keluar masuk (SIKM) ibu kota. Tanpa surat itu tak bisa keluar masuk (kecuali lewat jalan cindhil; anak tikus, red) dan ada beberapa langkah untuk mendapatkan surat itu. Repot.
Kisah teks bacaan hari ini mengindikasikan syarat sederhana: orang sakit yang sembuh itu cuma perlu datang ke imam untuk membuktikan dan menyatakan kesembuhannya dan membayar sejumlah uang persembahan sekadar keperluan administratif gitulah. Maksud Guru dari Nazareth kiranya sederhana: supaya penderita kusta itu tak cuma mengalami kesembuhan fisik, tetapi juga relasi sosialnya dipulihkan. Pengucilan selesai kalau orang yang bersangkutan mendapat keterangan sembuh dari imam di Bait Allah.
Dalam teks ini tidak dituliskan apakah penderita kusta itu memenuhi saran Guru dari Nazareth, tetapi dalam teks lain dikisahkan bagaimana dia malah woro-woro mengenai kesembuhannya. Akibatnya, Guru dari Nazareth malah tidak bisa masuk ke kota secara terang-terangan dan tinggal di tempat rahasia (Mrk 1,45). Kenapa? Karena yang menyentuh orang kusta ikut dinajiskan, dan orang najis tidak bisa masuk ke pemukiman warga. Ironis: membantu orang supaya tidak najis, tetapi dia sendiri malah dianggap najis.
Bacaan pertama menuturkan bagaimana Yerusalem diruntuhkan oleh Raja Babel, Nebukadnezar. Semua bangunan dihancurkan, termasuk Bait Allah. Menariknya, pada kalimat terakhir dikatakan bahwa hanya beberapa orang miskin yang dibiarkan tinggal di situ untuk jadi tukang kebun anggur dan bekerja di ladang. Orang miskin dianggap tak signifikan oleh penjajah dan penjarah. Akan tetapi, mungkin memang begitulah Allah bekerja: memberdayakan yang dianggap tak signifikan oleh kebanyakan orang sehingga keselamatan dari Allah itu bisa menyentuh semakin banyak umat-Nya.
Kemarin saya sitir frase paradoksal “enrich your neighbor with your poverty“, yang tak terpahami dengan cara berpikir linear. Kalau kaya dan miskin diletakkan segaris, akibatnya seperti nasib Guru dari Nazareth tadi: menyembuhkan orang najis, ia sendiri jadi najis. Kalau saya memberikan seluruh uang saku saya kepada pengemis, ia jadi beruang dan saya tidak beruang. Kalau bukan Anda yang miskin, mesti ada orang lain yang miskin; kalau bukan Anda yang membayar makanan, mesti ada orang lain yang menanggungnya, begitu seterusnya.
Memperkaya orang lain dengan kemiskinan bukan terutama soal estafet materinya, melainkan estafet kerohanian, penularan semangat yang membebaskan Anda melakukan estafet materi tadi. Seorang anak bisa saja diminta membagikan makanannya kepada teman. Estafet materi terjadi, tetapi anak itu cemberut. Sebaliknya, orang bisa jadi kaum filantropi ceria, tetapi mungkin saja kompulsif: tidak nyaman kalau tidak memberikan kepunyaannya kepada orang lain. Kemerdekaan anak dan orang dewasa itu sama-sama terkerangkeng.
Saya tutup saja deh: It is curious to see that almost all men who are worth a lot have simple ways and that simple ways are almost always taken as a clue of little value.
Tuhan, mohon rahmat supaya kami semakin bebas di hadirat-Mu. Amin.
JUMAT BIASA XII A/2
26 Juni 2020
Categories: Daily Reflection