Enrich your neighbor with your poverty. You will find that the joy will truly become yours in the measure in which you have given it to others.
Paradoks ini saya pakai untuk memberi contoh mandat teks bacaan hari ini. Pesan bacaannya jelas: mendengarkan yang baik saja tidaklah cukup, orang mesti mempraktikkannya, sebagaimana orang beragama tak cukup hanya menyebut-nyebut nama Allah tetapi perlu menyatakan kehendak-Nya dalam hidup konkret. Telinga dan mulut tak cukup, diperlukan tangan dan kaki. Nah, berkenaan dengan kaki itulah saya beri contohnya.
Kemarin, ketika kami sedang menonton Heavenly Sword Dragon, salah seorang tetangga kamar membuka paket yang diterimanya dan meletakkannya di meja “komunis” (ini tidak menyindir komunisme) dekat televisi. Saya lihat itu adalah sepatu dan saya tanya nomornya dan dijawablah oleh penerima paket itu nomor yang klop dengan kaki saya. Alhasil, setelah film selesai, saya membuka dus sepatu baru itu dan begitu saya coba memang klop. Selain klop ukurannya, juga klop dengan kebutuhan saya. Akhirnya dengan mringis saya bilang terima kasih. Sebetulnya masih ada kotak sepatu lainnya, tetapi ada orang lain yang saya kira lebih membutuhkannya daripada saya.
Sesederhana itulah hidup tetangga kamar saya. Ia memperkaya saya dengan kemiskinannya. Jangan salah, ia seorang direktur, punya mobil, punya apa saja yang dia butuhkan untuk hidup, tak berkekurangan sama sekali. Bahkan, kalau mau memberi saya uang seberapa pun yang memang saya butuhkan, ia bisa melakukannya. Awesome, kan? Lha iya, soalnya itu bukan uangnya sendiri.😁 (Akan tetapi, mana ada juga uang yang bersifat privat? Semua uang mestilah bersifat sosial, sekalipun itu uang mainan monopoli).
Memperkaya orang lain dengan kemiskinan bukan perkara mempermiskin diri supaya orang lain kaya. Kalau itu sih, tugas para koruptor yang bertobat. Memperkaya orang lain dengan kemiskinan berarti meningkatkan kualitas hidup orang lain dengan sikap lepas bebas karena ketergantungan mutlak pada Sang Pemberi Hidup.
Ini bukan monopoli tetangga kamar saya dan mungkin semangat itu bukan barang langka di masa pandemi ini. Orang bisa mencukupkan diri dengan apa yang memang diperlukannya dan memberikan hal-hal lain bagi mereka yang membutuhkan. Patut disayangkan kalau untuk mewujudkan spiritualitas macam ini orang harus menunggu pandemi. Andaikan new normal life berarti enriching others with our poverty, alangkah indahnya hidup ini. Apa mau dikata, orang bijak dan orang bodoh hidup berdampingan dan orang tidaklah bijaksana jika tidak dapat menanggung kelemahan orang bodoh.
Persoalannya bukan siapa yang bodoh dan siapa yang bijaksana karena dua kategori itu hanya menunjukkan siapa yang mempraktikkan kehendak Allah dan yang tidak. Karena kehendak Allah bukan barang seperti sepatu yang saya pakai dan bisa saya lepas, ia mesti dicari terus menerus dan dalam pencarian itu orang bisa gagal atau berhasil. Akan tetapi, bukankah selama hidup orang, kegagalan dan keberhasilan bisa datang silih berganti?
Kalau begitu, memperkaya sesama dengan kemiskinan juga merupakan panggilan terus-menerus. Semakin orang menanggapinya, semakin bijaklah hidupnya.
Ya Tuhan, mohon rahmat ketekunan untuk menyatakan kehendak-Mu dalam hidup kami bersama. Amin.
KAMIS BIASA XII A/2
25 Juni 2020
Kamis Biasa XII B/2 2018: Orang Pintar Minum Apa
Kamis Biasa XII C/2 2016: Rahmat Murahan
Kamis Biasa XII A/2 2014: Doa Ritual Saja Tak Cukup
Categories: Daily Reflection