Mengapa Guru dari Nazareth kelihatan begitu antipati terhadap ahli Kitab Suci dan kaum Farisi pada masa hidupnya? Sebentar, tentu bukan generalisasi, tidak semua ahli Kitab Suci dan kaum Farisi jadi sosok yang dikecam habis-habisan oleh sang Guru ini. Hanya mereka yang munafiklah yang dikritiknya. Teks bacaan hari ini adalah kelanjutan dari teks yang dibacakan kemarin dan sebetulnya isinya juga mirip-mirip dengan yang kemarin. Tak perlu komentar lagi, jadi ya kita merenung-renung saja apa yang bisa dipetik dari konflik antara dua kubu ini.
Pertama, saya sangat meragukan bahwa Guru dari Nazareth antipati pada pribadi ahli Kitab Suci dan kaum farisi yang munafik itu. Alasannya, dalam tradisi lain juga dikatakan bagaimana Guru dari Nazareth ini berhadapan dengan perempuan yang digelandang karena kedapatan melakukan perzinahan. Tidak terindikasi bahwa Guru dari Nazareth ini antipati terhadap perempuan yang digelandang itu. Yang menjadi sasaran antipati bukan pribadi mereka, melainkan kemunafikan mereka. Memang tidak gampang membedakan antara pelaku dan kelakuannya. Itu juga mengapa tidak mudah menerima nasihat ‘benci perbuatannya, tapi cintai orangnya’. Nasihat pertama sih gampang diikuti. Yang kedua itu loh, ampun.
Kedua, mengapa sih kemunafikan itu begitu dibenci oleh Guru dari Nazareth ini? Apakah lantaran kemunafikan memuat kebohongan yang berarti melanggar perintah Allah? Bisa jadi. Akan tetapi, kalau memang Allah menghendaki supaya manusia tidak berbohong, apa alasannya? Apakah kebohongan itu merugikan Allah? Mestinya tidak, kan, wong He knows every lie that you and I have told? Kebenaran tak tersembunyikan bagi-Nya. Apakah kemunafikan itu merugikan orang lain? Saya kira juga tidak. Kalaupun rugi, cuma sejauh keliru menilai atau menangkap kesan. Dalam hal tertentu bisa jadi merugikan orang lain: sudah capek-capek membuatkan ini itu karena yang dibuatkan ini itu kelihatan senang sekali, jebulnya ini itu tadi malah dibuang percuma.
Kalau begitu, satu-satunya alasan mengapa kemunafikan bin kebohongan tadi dilarang oleh Allah ialah bahwa kemunafikan itu merugikan orang yang munafik itu sendiri. Akan tetapi, di mana kerugiannya, wong orang munafik itu kan mengejar keinginannya sendiri dan mendapatkannya, bukan? Misalnya, orang Farisi itu menginginkan pujian sebagai tokoh agama dan mereka melakukan aneka ritual yang membuat mereka mendapatkan penghormatan dari umat Allah. Pakaian ‘agamis’, janggut panjang, ucapan spontan religius, dan seterusnya. Mereka mendapatkannya. Jadi, di mana kerugiannya dong?
Mungkin di sini kerugiannya. Pertama, mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan, tetapi tidak memperoleh apa yang mereka butuhkan. Kaum Farisi dan ahli Kitab Suci yang munafik tadi mendapatkan penghormatan dari umat Allah, tetapi tidak memperoleh pujian dari Allah. Lha ya untuk apa juga pujian dari Allah, Rom? Gak keliatan, gak ngefek.
Nah, justru di situ kan kerugiannya? Orang tak mampu menangkap pujian dari Allah itu di kedalaman dirinya. Pujian Allah memengaruhi kelanggengan kegembiraan dalam hati orang. Pujian orang lain, sebaliknya, berpotensi melanggengkan cinta bersyarat. Gembira kalau dibombong dan sedih jika dikritik.
Kedua, mereka mendapatkan hal-hal receh, tetapi kehilangan hal yang substansial. Untuk yang ini, silakan melanjutkannya dengan renungan Anda sendiri. Pokoknya, ini bukan perkara mereka saja, kaum Farisi dan ahli Kitab Suci nan munafik, melainkan juga perkara Anda dan saya.
Tuhan, mohon rahmat ketulusan hati. Amin.
RABU BIASA XXI A/2
26 Agustus 2020
2Tes 3,6-10.16-18
Mat 23,27-32
Categories: Daily Reflection