Dua hari lalu saya singgung skandal yang dipestakan Gereja Katolik, dan kemarin yang saya garisbawahi adalah otoritas yang jadi rujukan ketaatan umat beriman. Hari ini saya gabungkan saja keduanya dengan refleksi yang disodorkan Paus Fransiskus sekitar tujuh tahun lalu: skandal otoritas. Alasannya, hari ini Gereja Katolik memperingati seorang paus dan uskup yang terbunuh pada sekitar tahun 250, 18 abad yang lalu. [Hubungannya apa jé, Rom? Ya mboh, mungkin karena pandemi😂. Ciyus, konon pada tahun 252-254 wilayah kekaisaran Romawi terserang pandemi dan orang-orang kristianilah yang dituduh sebagai biang kemurkaan para dewa saat itu.]
Paus Fransiskus bilang kurang lebih begini: “Skandal” yang diprovokasi oleh ajaran dan tindakan Guru dari Nazareth berasal dari “otoritas” yang tidak bersifat eksternal, yang dipaksakan, tetapi sesuatu yang berasal dari dalam. Inovasi Guru dari Nazareth berasal dari relasi intimnya dengan Allah, yang disebutnya Bapa, yang memberinya “otoritas” untuk digunakan sebesar-besarnya demi kepentingan kemanusiaan yang bermartabat.
Saya kira, itu jugalah yang dihidupi oleh Paus Kornelius dan Uskup Siprianus. Pada masa pandemi itu, Kaisar Gallus melakukan penganiayaan terhadap orang-orang kristiani. Nasib Kornelius sebagai paus mungkin lebih halus. Ia hanya diasingkan di Civitavecchia, kota lama di wilayah Roma, sampai meninggalnya. Tentu saja, pengasingan pada abad itu tidak senikmat pengasingan zaman now, dan kematian Kornelius, biar bagaimanapun adalah akibat kekerasan hidup di tempat pengasingannya. Siprianus mati pada masa kekaisaran Valerianus: sempat diasingkan ke Korba (Tunisia) sebelum diadili dan dipenggal kepalanya tanggal 14 September 258.
Ndelalahnya, bacaan yang diambil Gereja Katolik untuk peringatan para martir ini justru menyodorkan perwira Romawi yang sama sekali tak menampakkan gambaran kekerasan. Sebaliknya, perwira ini menunjukkan kerendahhatian yang luar biasa, jika imannya tak diperhitungkan. Dalam lingkup kekaisaran tentu saja tindakan perwira ini bisa dibilang ‘skandal’. Sudah semestinya sebagai penjajah ia memerintahkan Guru dari Nazareth untuk datang dan memenuhi permintaannya. Dia punya hak untuk melakukannya, dan perwira-perwira lain bisa jadi melakukannya terhadap orang Yahudi jajahannya.
Akan tetapi, perwira itu malah menunjukkan ketidakpantasan dirinya menerima Guru dari Nazareth sekaligus menunjukkan kepercayaannya terhadap otoritas Guru dari Nazareth untuk menyembuhkan orang. Tak mengherankan bahwa Guru dari Nazareth pun heran, kok ada orang yang punya iman kayak gitu dan dari luar lingkungan agama Yahudi pula!
Itu jadi semacam skandal otoritas: datangnya bukan dari luar, tetapi dari dalam, bekerja dengan paradoks. Kerja otoritas iman berbanding terbalik dengan kekerasan. Semakin kekerasan dipakai, memang hasil yang diinginkan itu bisa terwujud, tetapi otoritasnya mrucut, legitimasinya luput, karena orang-orang pada takut.
Sudah tujuh puluh lima tahun Indonesia merdeka, dan institusi pendidikan mestinya ada sudah lebih dari angka itu, tetapi yang mengherankan ialah yang namanya opspek bermodelkan senioritas tambah perploncoan itu kok ya gak hilang-hilang. Saya beruntung bahwa selama saya sekolah, sebagai siswa atau mahasiswa baru, tak pernah saya alami perploncoan di kampus saya, baik verbal maupun nonverbal. Yang saya alami namanya inisiasi atau yang lebih lucu: bina keluarga.😁 Mau bilang perpeloncoan gimana wong keluarga dibawa-bawa… (ya meskipun ada juga sih keluarga yang pakai menu kekerasan verbal atau nonverbal).
Tuhan, mohon rahmat kerendahhatian supaya hati kami makin tertambat pada hati-Mu. Amin.
PW Santo Kornelius dan Santo Siprianus
(Rabu Biasa XXIV A/2)
16 September 2020
Categories: Daily Reflection
Mo, bacaan hari ini dari 1 Kor 12:31-13:13 dan Luk 7:31-35
LikeLiked by 1 person
Saya ambil rumus Kornelius dan Siprianus, Moooooo……
LikeLiked by 1 person