Kemarin Gereja Katolik memestakan skandal Salib Suci (yang sama sekali bukan bentuk palang, apa pun bahan pembuatnya, melainkan suatu pola pergumulan hidup orang beriman dengan dua matranya). Pesta itu diikuti dengan peringatan Bunda Maria yang berdukacita, dengan bacaan yang diambil dari narasi Bunda Maria di bawah anak tunggalnya yang tergantung di salib. Mungkin ada satu dua ibu yang biasa-biasa aja melihat anaknya meregang nyawa, tetapi Bunda Maria ini, saya yakin, berduka luar biasa: sudah sejak bayinya kětula-tula (entah apa bahasa Indonesianya pokoknya mengalami hidup yang susah dan menyedihkan), di ujung hayatnya menanggung derita pula.
Akan tetapi, saya sangat tidak yakin bahwa Bunda Maria berduka cinta semata karena nasib putra tunggalnya. Ketidakyakinan saya ini berlandaskan pada estafet yang disodorkan dalam narasi singkat hari ini. Yesus, yang melihat ibu dan murid terkasihnya, memasrahkan murid terkasihnya itu kepada ibunya, dan sebaliknya, dengan perkataan “Inilah anakmu” dan “Inilah ibumu”. Semua pembaca tahu bahwa itu maksudnya bukan ibu-anak biologis. Ini menunjuk pada relasi adoptif, bahkan meskipun tanpa ada catatan legal administrasi; pokoknya, Bunda Maria dan murid yang dikasihi Yesus itu menjadi bunda dan putra yang mendapat otorisasi dari Yesus.
Sebagai bunda, Maria semestinya tak punya preferensi untuk mendiskriminasi anak. Yang bandel maupun yang baik ya tetaplah anak bunda juga. Anak yang baik mungkin tak memicu dukacita bundanya. Anak bandel, tidak membuat sang bunda membencinya, tetapi malah membuatnya prihatin dan berduka.
Kalau begitu, jangan-jangan pesan Gereja Katolik dengan peringatan Bunda Maria Berdukacita ini malah berbunyi “Mbok jangan bandel-bendel” gitu ya?🤭
Dalam kontemplasi Bunda Maria dan murid terkasih di hadapan salib Yesus itu, saya tertarik pada ketaatan Bunda Maria, yang kiranya sinkron dengan ketaatan putranya. Ini bukan perkara patuh pada aturan, pada orang tua, pada kepala sekolah, pada menteri, pada gubernur, melainkan perkara taat kepada instansi yang semestinya ditaati oleh orang tua, kepala sekolah, menteri, dan seterusnya tadi. Baik murid terkasih dan Bunda Maria taat pada otoritas yang ditaati Yesus sendiri, yaitu Allah yang senantiasa mencintai anak-anak-Nya.
Dengan demikian, pesan “Jangan bandel-bandel” tadi sepertinya lebih masuk akal diterima sebagai undangan supaya semua orang, entah sebagai ibu atau anak, bersama-sama mencari otoritas yang melampaui kepentingan ego mereka sendiri. Tidak selalu jelas seratus persen apa suara otoritas itu, tetapi dalam relasi penuh kepercayaan antara bunda dan anak ini kiranya orang dapat menemukan apa yang sesungguhnya jadi tujuan pencarian hidup manusia demi kebahagiaannya. Yang penting, dalam dialog bunda-anak itu ditemukan makna bagi keduanya sehingga kebahagiaan itu ditemukan pada hidup ‘di dalam sini’ alih-alih ‘di luar sana’. Ngeri kan kalau bunda-anak sama-sama salah bidik kebahagiaan? Pada momen itu, berdukacitalah Bunda Maria.
Jika tidak, biasanya sang bunda berduka pada momen anaknya tak menemukan kebahagiaan sejati.
Tuhan, ajarilah kami untuk senantiasa mengarahkan ketaatan kami kepada-Mu, juga dalam relasi kami dengan sesama. Amin.
PERINGATAN WAJIB SP MARIA BERDUKACITA
(Selasa Biasa XXIV A/2)
15 September 2020
Posting 2018: Sudah Berbagi?
Posting 2017: OTT Bikin Malu Bangsa
Posting 2016: Pesta Duka
Posting 2015: Turut Berdukacita
Posting 2014: Speechless
Categories: Daily Reflection