Suka Tobat

Pada kemasan obat biasanya ada indikasi dan cara penggunaan obat. Kalau orang tidak mengikuti petunjuknya, yang dirugikan bukan pemilik toko obat atau produsen obatnya, melainkan si penggunanya sendiri. Begitulah sewajarnya orang beragama membangun konsep mengenai dosa: menentukan dosis yang kirain baik untuk diri sendiri, jebulnya malah merusak hidupnya sendiri. Sebagian melakukannya dengan sengaja, sebagian lainnya tertipu muslihat dan musdengar syaiton. Dosa bukan lagi perkara melawan Allah, melainkan perkara mencederai diri sendiri. Klop dengan konsep ini, paham Allah juga lebih nalar: bukan Allah yang siap sedia dengan tali dan mencambuk orang yang tidak patuh pada petunjuk-Nya.

Semoga pembaca blog ini tidak berkeyakinan naif bahwa Allah bakal menambahkan celaka kepada pendosa dan memberi diskon celaka jika dia melakukan kebajikan. Kenapa? Karena, Allah macam mana yang menginginkan umat-Nya celaka, jal? Kalau ada Allah semacam ini, sekurang-kurangnya saya, lebih baik tak usah memercayai dan menuruti petunjuknya. Saya yakin bahwa Allah tak menginginkan manusia celaka.
Lah, manusia kan juga gak ingin celaka, Rom? Jadi, siapa yang mencelakakan manusia kalau bukan manusia dan bukan Allah?
Lha ya tinggal cari saja siapa yang bukan Allah dan bukan manusia.🤭
Wah, banyak banget dong?
Ember, dan itu terjadi karena ignorance. Ya itu tadi, kirain yang diinginkan itu membawa kebahagiaan, jebulnya membawa kecelakaan. Orang tahunya setelah terjadi kecelakaan.

Akan tetapi, sebetulnya itu gapapa juga sih, karena apa pun keadaannya, Allah tidak menginginkan manusia celaka sehingga kalaupun manusia celaka, Allah tidak menghukumnya (!), tetapi menariknya supaya tak terus terjerembab.
Narasi teks bacaan hari ini menggambarkan apa yang saya bahas itu. Perempuan pendosa itu datang kepada Guru dari Nazareth yang sedang diundang perjamuan oleh seorang Farisi. Ia tidak datang untuk merengek-rengek supaya tidak dicambuk atau dihukum akibat dosa-dosanya. Dosa itu sendiri sudah menjerumuskannya, ia tak perlu minta tambahan hukuman, yang juga gak ada. Pengampunan bukan perkara memotong hukuman atau membatalkan akibat dosa.

Pengampunan dari Allah berarti penemuan kembali jalur yang membawa orang pada kebahagiaan sejatinya sebagai makhluk Allah. Artinya, perempuan pendosa itu sudah menemukannya sebelum datang kepada Guru dari Nazareth: ia tahu kesalahan, kekeliruan, kerapuhan, keterpurukan hidupnya, entah ada campur tangan orang lain atau tidak. Pada momen ia mengerti sungguh kesalahannya itu, pengampunan jadi bermakna.
Di sini kelihatan bahwa pengampunan Allah datang bukan setelah orang bertobat, melainkan sebelumnya. Artinya, pengampunan dari Allah ialah perkara segala kemungkinan untuk menunjukkan orang salah jalan sedemikian rupa sehinggu membuka mata pendosa terhadap kesalahannya sendiri. Pada momen orang bertobat, pengampunan Allah menuai kerjanya.

Maka dari itu, absolusi yang diberikan pastor dalam ‘pengakuan dosa’ tak ada artinya kalau orangnya sendiri tak bertobat. Entah berapa banyak umat yang terjebak dalam permainan psikologis: mencari kelegaan tanpa pertobatan. Kirain sering-sering ngaku dosa bikin makin suci, jebulnya malah cuma jadi ritual tanpa pertobatan; ujung-ujungnya masker kemunafikannya makin berlapis-lapis. Perempuan pendosa dalam teks bacaan hari ini menunjukkan sukacitanya karena menemukan jalan kembali. Begitu semestinya ‘pengakuan dosa’ dirayakan sebagai sakramen tobat atau rekonsiliasi: orang bersukacita karena pengetahuan dan kesadarannya dibukakan, diperluas, dan melihat kemungkinan baru untuk menjalani jatuh bangun hidupnya dengan obat yang disodorkan Allah.
Kalo gak doyan obat gimana, Rom?😁
Mboh, yang penting doyan tobat.

Tuhan, mohon rahmat pertobatan yang memberi kami sukacita sejati. Amin.


KAMIS BIASA XXIV A/2
S. Robertus Bellarminus SJ
17 September 2020

1Kor 15,1-11
Luk 7,36-50

Kamis Biasa XXIV B/2 2018: Lagi2 Ampun Bang
Kamis Biasa XXIV A/2 2014: Am I Really A Sinner?