Love Everywhere

Kemarin dikisahkan seorang perempuan pendosa yang mak jegagik muncul ke perjamuan dan dengan derai air matanya membasahi kaki Guru dari Nazareth, menyeka dengan rambutnya yang berderai, dan mencium kaki itu setelah mengolesinya dengan minyak wangi. Oh, tidak, mengolesinya belakangan. Begitu menurut penuturan Lukas, tetapi tak usahlah berdebat kusir mencium kakinya itu sebelum diolesi minyak wangi atau sesudahnya. Poinnya, seluruh gerak-gerik perempuan pendosa itu memuat cerita bagaimana ia sangat sangat sangat gembira karena pengampunan yang diperolehnya.

Maka dari itu, kalau dibilang dia datang kepada Guru dari Nazareth sembari menangis, tangisannya bukan tangisan penyesalan dan minta ampun kepada Guru dari Nazareth, melainkan tangisan kegembiraan karena ia menemukan jalan kembali. Gerak-geriknya sangat simbolik dan tindakan simboliknya itu berlanjut sampai pada teks yang dibacakan pada hari ini. Simbol apakah itu? Simbol pelayanan.
Bisa dibayangkan bahwa posisi Guru dari Nazareth dalam perjamuan adalah posisi umumnya orang Yahudi mengikuti perjamuan: berbaring miring dengan kepala di dekat jamuan dan kaki di ujung sebaliknya (menjauh dari makanan, repot juga kan kalau kaki ikut-ikutan kepala mendekati makanan perjamuan). Dengan posisi begini, pelayan yang bertugas dalam perjamuan itu mestilah ada di dekat kaki tuannya. (Nota bene: Guru dari Nazareth sendiri dalam perjamuan terakhirnya dengan para rasul mengambil posisi seperti itu, posisi melayani.)

Pada teks singkat hari ini dikatakan bahwa Guru dari Nazareth berkeliling dari kota ke kota bersama para rasulnya dan para perempuan yang telah disembuhkannya dari berbagai penyakit melayani rombongan itu dengan kekayaan mereka.
Cinta nan gratis memang tak dapat dinilai dengan kekayaan, tetapi dapat menyerap kekayaan untuk masuk dalam logika cinta itu sendiri: membuat kabar gembira itu sendiri jadi gratis bagi yang lain.

Pokok inilah yang tidak dihidupi oleh orang Farisi, bahkan yang mengundang Guru dari Nazareth untuk makan dalam perjamuannya. Ya, perjamuan mereka sangatlah selektif dan eksklusif undangannya. Hanya orang-orang dari ‘partai lurus’ yang bakal diundang, yaitu mereka yang patuh, taat pada aturan agama, tampak alim, dan sejenisnya. Akan tetapi, bagi Guru dari Nazareth, kebaikan seperti itu tidaklah cukup untuk masuk dalam logika cinta tanpa syarat, yang diwartakannya ke sana kemari. Cinta tanpa syarat senantiasa gratis, tak membuat eksklusi dan membiarkan dirinya memancar ke mana-mana.

Tuhan, mohon rahmat supaya kami sungguh dapat masuk dalam logika cinta-Mu nan agung. Amin.


JUMAT BIASA XXIV A/2
18 September 2020

1Kor 15,12-20
Luk 8,1-3

Jumat Biasa XXIV C/2 2016: Agama Sampah 
Jumat Biasa XXIV A/2 2014: Perempuan Itu…