Beberapa ahli Kitab Suci mungkin akan piawai mempersoalkan siapa saja perempuan yang senantiasa ikut berkeliling desa dan kota bersama Yesus dan murid-muridnya. Persisnya, mereka bisa masuk dalam perdebatan mengenai wanita yang disembuhkan dari roh jahat, apakah itu sama dengan wanita yang kemarin mengurapi kaki Yesus. Saya tidak bisa masuk ke perdebatan itu, tetapi cukuplah kiranya mengakui bahwa salah satu konsekuensi logis pengampunan adalah pemberian diri. Sedikit diampuni sedikit berbuat kasih, banyak diampuni banyak berbuat kasih.
Perempuan-perempuan di sekeliling Yesus adalah mereka yang punya kepekaan tinggi bahwa hidup mereka pada dirinya sudah merupakan wujud cinta Allah sendiri. Mereka sudah terlebih dahulu dicintai, dan karenanya mereka tinggal menyalurkan cinta itu dalam dan melalui diri mereka. Memang yang getol mewartakan kabar kebangkitan Yesus adalah laki-laki seperti Paulus, dalam bacaan pertama; tetapi itu tak berarti bahwa semangat kebangkitan hanya tinggal dalam wacana oleh laki-laki. Memang yang jadi pusat pewartaan adalah Yesus sendiri, tetapi kenyataannya hidup Yesus benar-benar disokong oleh perempuan-perempuan yang mengikutinya juga, yang ‘terbakar’ oleh pewartaannya, yang kemudian melayani rombongan itu dengan kekayaan mereka.
Perempuan itu menunjukkan dimensi lain dari iman: relasi. Umumnya laki-laki piawai berargumentasi bahkan menyangkut soal iman: logisnya bagaimana, harusnya bagaimana. Perempuan menegaskan sesuatu yang berbeda dari situ: iman adalah relasi! Kalau mau utuh dalam beriman, orang mesti mempertimbangkan dua hal itu: fides quaerens intellectum (iman menuntut pengertian yang bisa dipertanggungjwabkan) dan relasi personal dengan objek iman itu sendiri.
Sekarang ini tentu tidak dengan mudah dibuat pemisahan antara karakter perempuan dan laki-laki. Tidak bisa dipukul rata begitu saja bahwa laki-laki itu mengandalkan rasio dan perempuan berkutat dengan perasaan. Bisa saja terbalik. Tapi, ini bukan soal gender. Iman memang menuntut rasio dan relasi. Relasi mengandaikan trust, dan kadang dibutuhkan kualitas rasionalitas tertentu sehingga orang bisa meletakkan trust-nya pada orang, pada Tuhan juga.
Ya Tuhan, bantulah aku supaya semakin memahami bahwa imanku sangat bergantung juga pada relasi pribadi dengan-Mu, bukan hanya aneka paket aturan agama.
JUMAT BIASA XXIV
19 September 2014
Categories: Daily Reflection