Pre-Order Agama

Dalam praktik Gereja Katolik pada Abad Pertengahan dulu ada kebiasaan memotong rambut pria yang jadi biarawan atau pertapa. Sebutannya tonsura. Gaya potongannya kèk gini nih:

Menariknya, kebiasaan ini tidak hanya diterapkan pada mereka yang sudah jadi biarawan (sebagaimana mereka yang diterima sebagai cantrik biksu digunduli). Kalau saya tak salah ingat, bahkan rambut anak laki-laki yang didedikasikan orang tuanya untuk menjadi biarawan itu juga sudah dipotong dengan model tonsura itu. Pre-Order gitu deh. Menurut informasi Wikipedia, kebiasaan tonsura ini baru diabaikan pada abad lalu; saya tidak tahu alasannya, dan tidak mencari tahu juga.

Akan tetapi, lagi-lagi saya kembali kepada Antoine de Saint-Exupéry: tonsura comes and goes. Bukan gaya potongan rambutnya yang esensial, melainkan dedikasi hidup orang pada Tuhanlah yang rupanya hendak disasar. Maka dari itu, tak mengherankan bahwa kebiasaan itu secara formal ditanggalkan. Sebagian mungkin masih mempraktikkan hal itu, entah disengaja atau karena bakat alamiahnya [menyindir diri sendiri boleh, kan?🤭]. Pokoknya, yang fana, bahkan jika itu berkaitan dengan agama, tak perlulah dibela mati-matian seakan-akan bentuk itulah yang paling baik di seluruh jagad.

Hari ini Gereja Katolik memperingati Santa Maria yang seluruh hidupnya dipersembahkan kepada Allah secara total. Nah, secara total ini bisa ditafsirkan macam-macam seturut keyakinan atau kepentingan ideologisnya. Saya tidak hendak masuk ke sana. Mengenai apa yang secara historis tak bisa dibuktikan, lebih baik saya tutup mulut saja dan memetik buah dari poin yang ditawarkan: persembahan hidup secara total kepada Allah adalah pergumulan batin sepanjang hayat.

Teks bacaan yang diambil untuk peringatan persembahan hidup Santa Maria ini adalah dialog singkat Guru dari Nazareth dengan orang yang menyampaikan informasi kepadanya. “Ibu dan saudara-saudaramu ada di luar sana dan berusaha menemui engkau.” Guru dari Nazareth menjawabnya begini,”Eh, kamu tau gak, apa yang membuat mereka itu jadi ibu dan saudara-saudaraku?” Orang itu melongo, lha wong ya sudah jelas toh siapa yang melahirkan beliau dan siapa saja saudara-saudarinya?
Guru dari Nazareth kemudian membuka wawasannya,”Yang bikin orang itu sungguh-sungguh jadi ibu atau saudara-saudariku ialah bahwa mereka mencari, menemukan, dan melakukan kehendak Allah.”

Itu betul. Yang dimaksud Guru dari Nazareth, ini bukan perkara nature belaka, melainkan perkara nurture juga. Kalau cuma nature, relasi macam itu rentan terhadap kerapuhan mental. Lihat misalnya mereka yang dengan mudah melakukan aborsi, menyia-nyiakan anak yang dilahirkannya, memperalat anak kandung, dan sebagainya. Yang membuat seseorang menjadi ibu sejati ialah bahwa ia memberikan nurture seturut apa yang dikehendaki Allah bagi kemanusiaan. Totalitas hidup Maria yang dipersembahkan kepada Allah itulah yang membuatnya menjadi ibu sejati bagi Guru dari Nazareth. Totalitasnya sudah terlihat jauh hari sebelum Guru dari Nazareth dilahirkannya. Allah seakan-akan melakukan pre-order yang dipenuhi oleh Bunda Maria dengan jawaban positifnya terhadap kehendak Allah.

Dalam episode-episode akhir Legend of Fuyao, Fuyao menemukan identitas dirinya, bersamaan dengan ayahnya yang selama sekian puluh tahun mencari tahu keberadaan istri dan anaknya (yang adalah Fuyao sendiri). Akan tetapi, pada momen itu, sang ayah memenuhi panggilan hatinya untuk membaktikan hidupnya di biara, alih-alih hidup bersama anaknya sebagai penerus tahta kerajaan. Panggilan hati ini tak menyangkal fakta bahwa dia adalah ayah Fuyao, tetapi memerdekakan hidupnya untuk mendukung putrinya dengan cara yang tidak mainstream.

Ya Allah, mohon rahmat kemerdekaan batin untuk senantiasa mencari, menemukan, dan melaksanakan pre-order-Mu. Amin.


PW SP MARIA DIPERSEMBAHKAN KEPADA ALLAH
Sabtu Biasa XXXIII A/2
21 November 2020

Za 2,10-13
Mat 12,46-50