Anda tentu mengerti suatu perkawinan politik dalam sejarah dinasti kerajaan-kerajaan di Indonesia. Dalam skala yang lebih kecil, saya harap Anda masih ingat kritik sosial yang disodorkan novel Siti Nurbaya. Relasi kekuasaan, relasi kepentingan, relasi kerumunan bin keroyokan menghimpit relasi antarpribadi, relasi personal. Ini melecehkan kemerdekaan orang.
Tentu, hal serupa terjadi pada zaman now, juga dengan fasilitas media sosial, yang sangat rentan pada anonimitas. Orang bisa menampilkan diri seturut kepentingan yang sedang diperjuangkannya sehingga identitas onlinenya bisa jadi berbeda dari identitas offlinenya. Problem pokoknya tidak terletak pada kamuflase online yang dipakai orang, tetapi pada kepentingan yang diperjuangkannya. Sebagian orang memakai topeng online untuk mengobjekkan, menguasai pribadi lain, alih-alih membangun relasi antarpribadi.
Teks bacaan hari ini secara singkat menunjukkan bagaimana kepentingan yang diperjuangkan Guru dari Nazareth melawan kepentingan kekuasaan agama. Ini bukan perkara beliau membenci agama atau orang-orang beragama, melainkan mengkritik keras cara mereka beragama. Alih-alih memanfaatkan agama untuk membangun relasi personal dengan Tuhan, mereka memanfaatkan agama untuk kepentingan politik. Kepentingan politik itu bisa juga berupa kepentingan agama sendiri. Cobalah lihat bagaimana isu kristenisasi atau islamisasi muncul: bisa jadi isu itu ada benarnya, bisa juga keliru.
Saya sendiri tak punya problem dengan proselitisme. Andaikan saya punya jemaat dan semua jemaat saya hijrah untuk memeluk agama lain karena semuanya mengalami perjumpaan dengan Tuhan dalam agama baru yang mereka peluk, saya akan berujar “Syukur kepada Allah”, kalau bukan alhamdulillah, karena berarti pekerjaan saya berkurang satu!🤭 Mungkin malah saya akan membantu mereka supaya semakin dekat dengan Tuhan dalam agama baru itu dengan menyediakan literatur yang berguna bagi mereka.
Pada kenyataannya, tidak banyak proselitisme yang terjadi karena perjumpaan orang dengan Tuhan. Lebih banyak itu terjadi karena politik identitas, yang darinya orang mendapatkan manfaat ekonomis atau sosial. Sudah jadi rahasia umum bahwa seseorang bisa mengalami kesulitan promosi jabatan hanya karena agama. Dua puluhan tahun lalu saya masih mengenali ada pejabat pemerintah yang tak mendapat tunjangan beras ya cuma karena agama. Di lain tempat, ada juga proselitisme yang terjadi karena orang menerima bantuan rutin mi instan atau instalasi listrik, dan seterusnya.
Tetangga saya di mancanegara menengarai bagaimana orang yang semula tak peduli agama lalu tiba-tiba mulai aktif. Bukan karena perjumpaan pribadinya dengan Tuhan, melainkan karena butuh layanan pernikahan anaknya, mendapatkan lokasi yang instogramabel untuk seremoni perkawinan, mendapat status sosial yang mempermudah urusan bisnisnya, dan seterusnya. Pada prinsipnya, ini serupa dengan apa yang dikritik Guru dari Nazareth: orang menjadikan agama bukan sebagai ruang doa, ruang perjumpaan dengan Tuhan, melainkan ruang untuk jadi penyamun.
Akhirnya, setiap orang beragama mesti kembali ke ruang sakralnya, kembali kepada hatinya sendiri: apakah di sana ia mau menjumpai Allah, atau mau melukai diri dan sesamanya dengan mengobjekkan apa saja untuk mengabdi atau melayani hasrat kekuasaannya. Orang beragama semestinya semakin mudah menengarai manakah sifat-sifat ilahi yang rawan tersandera oleh kepentingan ideologis kelompok atau bahkan dirinya sendiri.
Tuhan, mohon rahmat supaya hati kami senantiasa jadi altar cinta-Mu. Amin.
JUMAT BIASA XXXIII A/2
20 November 2020
Jumat Biasa XXXIII B/2 2018: Batas Suci
Jumat Biasa XXXIII C/2 2016: Agama Sarang Penyamun
Jumat Biasa XXXIII A/2 2014: Bisnisku Bukan Bisnismu
Categories: Daily Reflection