Jalan Damai

Di Kota Gudheg ini, saya beberapa kali jogging melewati Gang Toleransi, tapi belum pernah sekali pun saya jogging melalui Jalan Damai. Kejauhan. Saya yakin kepala dan pundak saya kuat, tapi lutut kaki tidak #halah. Mungkin kenyataan itu memihak keyakinan saya bahwa toleransi jauh dari damai. Toleransi tidak identik dengan damai. Tak mengherankan, jika Allah menawarkan damai sejahtera, yang ditangkap orang adalah toleransi. Damai tetap jadi misteri, dan itulah yang bikin Guru dari Nazareth menangis, hiks hiks hiks.

Mengapa damai sejahtera, sebagaimana cinta dan kebahagiaan, tetap jadi misteri yang seakan tersembunyi bagi pemahaman orang?
Dugaan saya: karena orang lebih enjoy dengan perubahan dari luar ke dalam, terima jadi, bermental budak, masih suka makanan kunyahan orang lain, suka dengan pendekatan keamanan, terbiasa dengan kerangka mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, dan seterusnya. Damai sejahtera muncul dari dalam, berproses, membawa tanggung jawab, mandiri, pendekatan personal, melihat kebaikan bersama, dan seterusnya.

Saya beri contoh pengalaman yang sangat sederhana. Saya pernah singgung dalam blog ini juga bagaimana seorang kawan dari Timur Tengah menyapa saya dengan kata asalamualaikum, yang juga sudah diserap dalam bahasa Indonesia. Bagaimana saya membalasnya? Karena saya terbiasa mendengar balasan “waalaikumsalam”, ya kata itulah yang saya pakai, dan saya yakin artinya kurang lebih bahwa salam itu, yaitu keselamatan dan damai, semoga juga bersama dia yang menyapa saya. Begitu, kan, Pak Eko?
Beberapa waktu lalu di tengah jalan saya berjumpa dengan beberapa santri yang rupanya hendak merawat sayuran mereka di ladang, dan saya menyapa mereka bukan dengan kata ndhèrèk langkung (numpang lewat) karena saya tidak yakin mereka “orang Jawa”, melainkan dengan kata asalamualaikum. 
Damai hati saya karena mereka menjawab waalaikumsalam.

Pengalaman ini bertolak belakang dengan pengalaman lain ketika saya mengunjungi saudara di kampung (“di Jawa”) dan sapaan asalamualaikum saya dibalas dengan pelototan.🤭 Entah mengapa, mungkin baru saja selesai les tari Bali. Ini seperti waktu saya ditegur keponakan saya karena saya mengucapkan alhamdulillah. Lha gimana, yang sini benar-benar bersyukur karena kemurahan Tuhan di balik kesusahan, yang di sana bergumul dengan sekat dan apa yang boleh atau tak boleh. Syukur datangnya dari dalam, “boleh tak boleh” datang dari luar. Ora gathuk ta?

Ratapan Guru dari Nazareth bagi Yerusalem tentu merepresentasikan ratapan bagi kemanusiaan yang tak kunjung mengudar misteri damai sejahtera dari Allah. Memang, namanya misteri ya tak terpecahkan, tetapi penting memahami bahwa misteri damai sejahtera itu menjadi asing ketika orang tak kunjung berikhtiar melihat bagaimana Allah melawat hidupnya dan bagaimana lawatan Allah ini memantik jiwanya untuk menebarkan damai sejahtera kepada semua. Mosok ya mesti tunggu kiamat dulu baru damai sejahtera? Tiada guna dong. Damai sejahtera, sebagaimana cinta dan kebahagiaan, memancar dari dalam ke luar, bukan malah mengancam dari luar ke dalam. Maka dari itu, damai sejahtera, cinta, kebahagiaan itu semakin memerdekakan orang, bukan malah mengekangnya dalam jerat egosentris.

Tuhan, mohon rahmat damai sejahtera-Mu yang memerdekakan siapa saja yang sungguh mencintai-Mu. Amin.


KAMIS BIASA XXXIII A/2
19 November 2020

Why 5,1-10
Luk 19,41-44

Kamis Biasa XXXIII B/2 2018: Perlu Capres Import? 
Kamis Biasa XXXIII C/2 2016: Kulihat Ibu Pertiwi
Kamis Biasa XXXIII A/2 2014: Terus Aja Pelihara Dendam!