Perlu Capres Impor?

Saya terus terang saja ya, tidak bermaksud untuk menjatuhkan pihak mana juga, sewaktu masuk kota Yerusalem tempat ziarah itu, saya tidak menangis, entah terharu atau sedih. Ini tak lebih dari duit dan bisnis, meskipun labelnya adalah ziarah. Sekali lagi, bukan maksud saya menyerang usaha pariwisata atau biro perjalanan yang sangat berjasa besar membantu saya bisa tiba di Yerusalem dan kota-kota lainnya. Saya sangat-sangat bersyukur dan berterima kasih kepada mereka.
Saya melihat dari perspektif Yerusalemnya: otoritas kekuasaannya maupun penduduknya. Tak beda dari tempat pariwisata mana pun: yang penting duitnya masuk.

Maka, hati saya tak tertusuk sewaktu menatap Yerusalem seperti dulu Guru dari Nazareth menangisi Yerusalem. Hati ini lebih tertusuk oleh ucapan orang yang kemarin-kemarin itu guyon dengan tampang Boyolali dan belakangan ini serius menyinggung profesi tukang ojek yang secara tak langsung dipandangnya rendah dan saya teringat kisah para sontoloyo di negara Eropa yang maunya kerja duduk di kursi empuk terima laporan dan terima duit dan kota jadi kotor karena orang-orang mudanya tak berminat membersihkan kota karena tukang bersih-bersih itu apa’an sih! Anda bisa bayangkan kalau ada capres bermental begitu, bagaimana dengan pendukungnya? Pokoknya duit! 

Padahal, omong-omong mengenai duit, Bohemian Rhapsody mengingatkan penonton bahwa duit tak bisa membeli kebahagiaan, tetapi sekurang-kurangnya Freddy Mercury bisa membagi-bagikannya dan, sambung dengan itu, A Man Called Ahok mengundang penonton untuk melihat bahwa kebahagiaan itu tak terletak pada seberapa banyak menerima duit, tetapi pada seberapa banyak bisa mendistribusikan duit.
Tentu saja, blog ini mengingatkan: distribusinya untuk kepentingan apa atau siapa?

Tapi sudahlah. Kembali ke hati yang tertusuk tadi. Ini bukan soal capres, melainkan mentalitas orang yang bisa-bisanya menghakimi pekerjaan ini rendahan, tampang ndeso itu nggilani, dan yang belakangan menusuk hati saya ialah penghakiman fisik terhadap waria di kota teman-teman dan saudara saya tinggal: Bekasi (mari keluarkan teleskop 🔭 😂 pis pis pis Ndhuk).
Baiklah, saya tak akan mempersoalkan kalau Anda menghakiminya sebagai dosa, sumonggo saja. Jelek-jelek begini saya Romo (imam) Katolik dan dulu sering mendengarkan pengakuan dosa dan dari bilik pengakuan itu saya mengerti pergumulan batin manusia, tetapi bahkan di situ pun saya tak punya kuasa untuk menghukumnya secara fisik. Tebusan atas dosa yang diakukannya senantiasa berangkat dari batin, dengan doa atau aktivitas yang bisa menggugah batinnya yang penuh pergumulan.

Selain itu, plis deh, siapa juga yang mengangkat orang beragama jadi malaikat Allah untuk memukuli waria, yang bahkan tidak melakukan tindak pidana?
Hati saya benar-benar tertusuk. Sebegitu sulitkah kita berempati?
Kenapa sih dalil agama bukannya membuat orang semakin manusiawi, padahal tak juga membuatnya ilahi? Njuk arêp dadi opo kowé sontoloyo?

Romo ki esmosi, sampai nulisnya gak karuan. Njuk apa hubungannya sama judul horotoyoh.
Oh iya. Ya judulnya kan cuma pertanyaan. Jangan-jangan kalau mentalitas bangsa ini tak bisa berempati, kita butuh capres impor yang bisa membangun bangsa yang berempati.

Tuhan, mohon rahmat empati juga terhadap proyek keselamatan-Mu yang menyentuh segala bangsa. Amin.


KAMIS BIASA XXXIII B/2
Peringatan Wajib S. Sesilia
22 November 2018

Why 5,1-10
Luk 19,41-44

Kamis Biasa XXXIII A/1 2017: Belajar Menangis 
Kamis Biasa XXXIII C/2 2016: Kulihat Ibu Pertiwi
Kamis Biasa XXXIII B/1 2015: Rebutan Mainan

Kamis Biasa XXXIII A/2 2014: Terus Aja Pelihara Dendam!