Tangisan Yesus tak berakhir di Yerusalem, Paris atau Raqqa. Ia menangisi setiap kota yang tak mengetahui saat Allah melawatnya. Ia punya penalaran dan hati yang bersimpati pada manusia korup dan mengerti betapa kehancuran tak terelakkan jika hati manusia tak sungguh terpaut pada Allah. Kehancuran Yerusalem terjadi tak sekali dua kali. Seribu tahun setelah kehancurannya di tahun 70, terjadi Perang Salib. Alasan perangnya tak pernah bersifat religius sekalipun diserukan oleh Paus dengan membawa-bawa ‘Kota Suci’ (Yerusalem).
Mungkin paus saat itu tidak belajar dari City of God St. Augustinus enam abad sebelumnya. Augustinus mencium kepalsuan bahkan dalam Kota Abadi yang dilekatkan pada Roma. Dulu setiap kota punya benteng yang kokoh untuk menahan gempuran kaum barbar atau kaum manapun yang hendak mencaplok kota itu. Roma dipercaya sebagai kota pusat kekaisaran yang takkan runtuh. Augustinus melihat secara berbeda: jika manusia berfokus pada City of the World daripada City of Heaven, takkan dijumpainya perdamaian sejati. Benarlah, beberapa puluh tahun setelah kematian Augustinus, Roma dan kekaisarannya runtuh (476). Ini adalah kejatuhan City of the World yang terjadi juga di kota-kota berbenteng lainnya.
Film Kingdom of Heaven tentang Perang Salib (III) kiranya menarik karena memberi pemaknaan baru terhadap Yerusalem. Saya tertegun pada pengakuan Tiberias kepada Balian: Aku memberikan seluruh hidupku bagi Yerusalem. Seluruhnya. Awalnya aku berpikir kita berperang untuk Tuhan, lalu kusadari bahwa kita berperang demi kekayaan dan tanah. Aku malu. Itu adalah pengakuan bahwa Tiberias memahami Yerusalem sebagai tatanan fisik yang dibalut kokoh oleh benteng kota. Ia malu karena merasa diri berjuang bagi Tuhan, ternyata tak ubahnya anak-anak berebut barang atau tempat mainan.
Balian menyadari hal itu tetapi toh tidak mengabaikan Yerusalem. Ia mempertahankannya, tetapi tidak dengan cara agresif seperti dibuat Reynald Châtillon dan Guy Lusignan. Balian menunjukkan poin penting: Kita membela kota ini bukan untuk melindungi batu-batu, tapi orang-orang dalam tembok ini. Melindungi orang-orang untuk apa? Jawabannya ada pada kalimat terakhir bacaan pertama hari ini: Segala harta miliknya di kota ditinggalkannya. Kemudian turunlah ke padang gurun banyak orang yang mencari kebenaran dan keadilan. Shalahuddin al-Ayyubi dan Balian sepakat bahwa Yerusalem diserahkan kepada kaum muslim pimpinan Shalahuddin dan orang-orang Kristen keluar meninggalkan Yerusalem.
Dari pihak Balian, kesepakatan itu diterimanya dengan latar belakang pemikiran yang tercermin dari kata-katanya kepada adik perempuan almarhum Raja Baldwin IV: Kerajaan kakakmu ada dalam budi dan hati. Kerajaan itu takkan bisa diserahkan. Dalam terang Augustinus, yang diserahkan hanyalah City of the World, yang senantiasa bikin perkara jika orang tak menghentikan lingkaran kekerasan.
Setelah serangan teroris di Paris beberapa waktu lalu, perang ideologi merebak, termasuk Islamophobia. Syukurlah, masih ada suara sayup-sayup yang menyentuh kalbu, atas nama Antoine Leiris, dengan nada yang juga dipakai Shalahuddin dalam Kingdom of Heaven. Balian meragukan tawaran Shalahuddin untuk membiarkan orang-orang Kristen pergi. “Orang Kristen membantai semua Muslim dalam tembok saat merebut kota ini [gimana kami bisa pergi tanpa pembalasan dari kalian?]” kata Balian. Shalahuddin menjawab,”Aku bukan orang-orang itu! Aku Shalahuddin.”
Tuhan, semoga damai sejati tak menyambungkan lingkaran kekerasan dalam diriku. Amin.
Paris attacks: ‘I will not give you the gift of hating you’
HARI KAMIS BIASA XXXIII B/1
19 November 2015
Posting Tahun Lalu: Terus Aja Pelihara Dendam!
Categories: Daily Reflection