Mengumbar Kerapuhan

Kemarin disodorkan poin, dengan narasi Zakheus, bahwa orang kuat pun perlu becermin dari kerapuhan orang lain yang bisa mengembangkan hospitalitasnya terhadap Kerajaan Allah (yang terbuka bagi siapa saja). Hari ini ditawarkan poin yang seakan-akan berkebalikan dengannya: tak perlu mengumbar kerapuhan.

Penulis Injil Lukas memaparkan alasan mengapa Yesus menyampaikan perumpamaannya: (1) hospitalitas terhadap kelompok marginal seperti kisah Zakheus yang diterima Yesus, (2) mendekatnya waktu sengsara, kematian dan kebangkitannya seiring mendekatnya Yesus ke Yerusalem, dan (3) gagasan orang banyak tentang Kerajaan Allah yang segera tiba setelah peristiwa Yesus itu. Inspirasi perumpamaannya sendiri mungkin merujuk pada Herodes yang sekitar 70 tahun sebelumnya pergi ke Roma untuk menerima gelar Raja dan kembali ke tanah Palestina tapi ditolak oleh rakyat dan kemudian memang Herodes membantai banyak penentangnya.

Yang menarik, perumpamaan itu memuat gagasan sesat tentang Tuhan yang direpresentasikan oleh hamba ketiga. Ia melihat tuannya sebagai orang yang keras nan kaku. Di hadapan Tuhan seperti itu, orang takut dan bersembunyi dalam ketaatan keras nan kaku juga terhadap detil hukum. Ia pikir, dengan sikap legalistik itu ia terhindar dari hukum yang keras dan kaku. Pada kenyataannya, orang itu malah tidak percaya kepada Tuhan. Ia percaya pada gagasannya sendiri bahwa keselamatan adalah perkara teknik menaati ABCD. Sesat paham mengenai keselamatan dari Allah ini membuatnya terkungkung dengan diri sendiri, mematikan nyawa komunitas, melenyapkan kegembiraan dan mempermiskin kehidupan. Ini bisa jadi sindiran untuk kaum Farisi dan ahli Taurat.

Andai saja hamba ketiga ini konsisten, ia tentu tahu dong bahwa Tuhan yang jahat itu maunya duit satu mina berbunga (ngapain Dia cuma nitip mina, jal?). Lha kok gak dititip ke bank wae, bukankah tak ada larangan juga dalam perjanjiannya? Saking takutnya, hamba ini malah tak berbuat apa-apa, mina tak berkembang, pahamnya tentang Tuhan juga tak berubah. Dalihnya, takut akan Tuhan, tetapi kata takut itu tak punya makna selain ekspresi kompleks inferior di hadapan Tuhan yang superior. Hamba ini menunjukkan kelemahan hidupnya.

Kadang dapat dijumpai orang yang begitu mudah menyatakan dirinya rendah, tak berharga, tak bernilai, banyak dosa, dan sejenisnya. Mungkin maksudnya untuk memberi kesan kerendahhatian di hadapan Tuhan juga, tetapi sayangnya jika itu terus menerus menjadi refren, bukan kerendahanhatian lagi yang terkuak, melainkan depresi. Setiap orang punya karunia yang tak perlu dibanding-bandingkan, dan karunia itu memang tak bisa dinilai harganya dengan aneka awards yang dipublikasikan media; yang penting karunia itu dipakai untuk tujuan AMDG.

Ya Tuhan, semoga aku dapat menghargai karunia-Mu dengan mempergunakannya sepenuh-penuhnya untuk kebaikan bersama. Amin.


HARI RABU BIASA XXXIII B/1
18 November 2015

2Mak 7,1.20-31
Luk 19,11-28

Posting Tahun Lalu: Jangan Mentang-mentang Kristen Ya!