Life is Fragile

Kemarin disodorkan kisah mengenai orang buta yang disembuhkan Yesus di Yerikho. Konon, kota ini jadi tempat perhentian pengembaraan bangsa Israel setelah empat puluh tahun keluar dari Mesir. Yerikho kemudian menjadi kota terakhir sebelum peziarah naik ke Yerusalem. Kemarin disodorkan kisah perjumpaan Yesus dengan orang buta dan hari ini, sebelum keluar kota, Yesus berjumpa dengan Zakheus. Dua orang yang sama-sama tak mendapat simpati dari orang banyak: yang satu karena teriakannya memanggil-manggil Anak Daud. Yang lainnya karena jadi sosok pemungut pajak bagi penjajah. Yang satu tergolong kelompok yang termarginalkan, yang lain adalah sosok yang memarginalkan kelompok lain. Yang satu sosok lemah, yang lain sosok kuat. Keduanya tidak ditolak oleh Yesus.

Dalam dua perjumpaan itu, Yerikho menjadi tempat kegelapan dienyahkan bagi si buta dan tempat tumbuh hasrat untuk melihat bagi Zakheus. Gerak teks narasi perjumpaan itu positif: si buta melihat terang dan Zakheus yang dapat melihat Yesus pun mengalami transformasi hati bagi sebuah hospitalitas. Keramahtamahan ini bukan soal bahwa Zakheus begitu girang karena Yesus yang terkenal itu mau datang ke rumahnya. Ini adalah transformasi hati yang memungkinkan Zakheus melihat keculasan dalam dirinya dan hendak menebus kerapuhan dan akibat kerapuhan hidupnya bagi sesama: “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.” Rupanya itu juga bukan melulu janji saat Zakheus mengalami euforia. Ia merealisasikan pertobatannya. Itulah wujud keterlibatan iman yang menyelamatkan.

Harap maklum, pertobatan orang belum tentu menyenangkan orang yang merasa diri benar dan superior. Semua orang dalam narasi itu bahkan dikatakan bersungut-sungut menggerutu karena Yesus makan bersama orang berdosa. Yesus bukan hanya tak peduli sungut-sungut orang itu. Ia bahkan menyebut Zakheus juga adalah anak Abraham, yang memegang janji keselamatan Allah.

Mungkin masih sulit dipahami bahwa orang kuat pun memerlukan kaum lemah, bukan untuk mengukur kekuatannya (seperti orang ‘beriman arogan’ yang bersyukur karena nasibnya tak seburuk orang lain yang terkena musibah dan sejenisnya: syukur karena saya tidak pemalas seperti tetangga sebelah, syukur karena keluargaku tidak broken seperti keluarga teman, syukur aku bukan pembohong dan penjilat seperti rekan kerjaku, dan lain sejenisnya), melainkan justru untuk menyadari kelemahan sendiri. Bisa jadi kita butuh orang rapuh supaya hidup kita tak jadi ‘elit’, seperti orang yang meyakini diri lebih baik dari orang lain, atau seperti orang (tolol) yang meyakini agamanya lebih baik dari agama orang lain.

Ya Tuhan, semoga kerapuhan hidupku semakin membuka hatiku pada besarnya rahmat-Mu dan pertobatanku jadi lebih konkret. Amin.


HARI SELASA BIASA XXXIII B/1
Peringatan Wajib St. Elisabet dari Hungaria
17 November 2015

2Mak 6,18-31
Luk 19,1-10

Posting Tahun Lalu: Berjumpa Kristus ya Mestinya Happy