Belum genap seminggu ada wacana mengenai talenta, hari ini disodorkan lagi bacaan mengenai talenta, tapi dengan kata yang berbeda: mina. Sebetulnya alur ceritanya ya sama, tetapi teks bacaan kali ini lebih insinuatif terhadap ajakan untuk memperkaya yang sudah kaya dan mempermiskin yang sudah miskin. Kitab Suci macam mana ini memberi catatan “setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, tetapi siapa yang tidak mempunyai, darinya akan diambil, juga apa yang ada padanya”! Apa ini bukannya endorsement untuk pikiran kapitalis?
Ya gak perlu pakai perspektif ekonomi terus dong. Dalam perumpamaan tentang talenta hari Minggu kemarin sudah saya tekankan bahwa talenta itu tidak merujuk pada modal material atau mental, melainkan modal spiritual: roh yang dihidupi Guru dari Nazareth, way of life yang diteladankan Nabi Muhammad. Dengan demikian, pernyataan “Kepada yang punya akan diberi dan dari yang tak punya akan diambil” bisa saja dimengerti dengan gambaran “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Akan tetapi, kekayaannya tidak identik dengan kenyataan kapitalisme, karena kapitalisme memang ditujukan untuk penumpukan modal. Mosok Kitab Suci mempromosikan kapitalisme?🤭 Orang-orangnya kale’. Coba tanya pada Max Weber deh, nanti pasti akan dijawab bahwa Kitab Suci yang ditafsirkan secara tertentu itu hanyalah sebagian dari faktor penyumbang gagasan kapitalisme.
Akan tetapi, jelaslah bahwa modal spiritual yang dirujuk perumpamaan hari ini tidak per sé mengarah pada kapitalisasi modal material atau mental. Kenapa? Baik Guru dari Nazareth maupun Nabi Muhammad melihat sistem yang korup dipelihara orang-orang yang modal spiritualnya minim. Orang yang modal spiritualnya minim, memandang hidupnya sebagai survival belaka, sebagai pertarungan untuk memperebutkan modal material dan mental tadi. Itu mengapa peperangan tak kunjung berhenti sejak zaman jebot dan bisa mengambil rupa lain.
Saya baru ingat bahwa saya belum memberi informasi bahwa film serial yang kami tonton sudah berganti judul: Legend of Fuyao. Maksud hati mencarikan film serial kungfu ala Donnie Yen atau Bruce Lee atau Michelle Yeoh, tapi apa daya, pada banyak episode banyak adegan romantisnya.🤭 Tetangga kamar saya selalu nyeletuk,”Kungfu kok pacaran melulu.”😂
Tapi ya gak papa, tiada salahnya melihat kelucuan karakter dalam drama serial itu. Saya sendiri malah mendapat contoh jelas bagaimana modal spiritual itu lebih memberi konsolasi daripada modal lainnya.
Kami sudah tiba pada episode ketika tokoh-tokohnya mulai beranjak dari perspektif eros mereka, yang senantiasa menimbulkan kecurigaan, kecemburuan, kemarahan, keputusasaan, dan bergerak ke dimensi cinta yang lebih luas, yang membuat mereka teguh pada komitmen hidup mereka. Saya belum tahu akhir ceritanya bagaimana. Bisa jadi tragis, tetapi itu tak menghapuskan kenyataan bahwa komitmen cinta mereka pada kehidupan ini justru memperkaya mereka. Sebaliknya, hasrat yang menggebu-gebu untuk mengklaim hidup bagi diri sendiri justru membawa mereka pada kehancuran, mempermiskin hidup material, mental, spiritual.
Akhirnya, teks ini rupanya juga sinkron dengan paradoks lain: siapa mencintai nyawanya, akan kehilangan nyawanya (Mat 10,39). Jalan keluarnya adalah berani “kehilangan nyawanya” karena modal spiritual tadi, orang malah mendapatkan nyawa yang sesungguhnya.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk mengembangkan modal spiritual yang Kau tanamkan dalam hati kami. Amin.
RABU BIASA XXXIII A/2
18 November 2020
Rabu Biasa XXXIII B/2 2018: Semoga Meresap
Rabu Biasa XXXIII C/2 2016: Motivator Busuk
Rabu Biasa XXXIII B/1 2014: Jangan Mentang-mentang Kristen Ya!
Categories: Daily Reflection