Talenta

Orang yang sungguh rendah hati tidak memendam talentanya, tetapi meletakkannya dalam pelayanan kepada Allah dan sesama. Klausa terakhir ini penting untuk menghindarkan tafsir kapitalis atas perumpamaan tentang talenta dalam teks bacaan hari ini. Bukan apa-apa, dalam kultur superfisial, perumpamaan ini sangat cepat terhubungkan dengan bagaimana orang mengembangkan bakatnya sebagai aktualisasi diri dengan ganjaran yang menggiurkan: dalam bisnis mendatangkan pundi-pundi yang berkelimpahan, dalam pendidikan mengantar orang ke jalur prestasi dengan status yang juga bisa menaikkan profitnya, bahkan dalam agama pun memungkinkan pembengkakan pengikut yang manut-manut dan duitnya ikut terangkut.

Salah satu hal yang dilupakan oleh penafsir kapitalis itu ialah bahwa talenta itu diberikan oleh seorang tuan kepada hambanya. Jelaslah ini bukan perkara pengembangan bakat! Ini adalah soal menjalankan ‘bisnis’ yang sejalan dengan kehendak tuannya. Singkatnya, ini perkara menjalankan kehendak tuannya. Apa kehendak tuannya baru ketahuan di akhir perumpamaan: hamba-hamba itu mesti memperlakukan talenta yang dipercayakan kepada mereka sedemikian rupa sehingga berlipat ganda.
Ha njuk talenta itu apa dong?

Tadi pagi saya terima video singkat dosen saya yang menjalankan dakwahnya berkenaan dengan tanam menanam tanaman [loh gimana sih tuh, Pak Tanam menanam tanaman?]. Beliau mulai dengan pernyataan dalam Alquran 107: tidaklah kami mengutusmu [wahai Muhammad] kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. Dengan demikian, Nabi Muhammad adalah rahmat bagi alam semesta, dan rahmat itu berarti welas asih, kasih sayang, cinta, nikmat karunia Allah. Konsekuensinya, umat Islam menjadikan sunnah Nabi sebagai way of life mereka. Lalu dosen saya ini mengelaborasikannya dengan perkara ekologi sebagai bagian dari way of life itu. Di situ kelihatan bahwa sunnah Nabi Muhammad adalah talenta bagi umat Islam (dan dengan adaptasi tentu juga bagi umat lainnya).

Dalam konteks kristiani saya kira talenta yang dipercayakan oleh Kristus itu diindikasikan oleh peristiwa di palang salib, ketika beliau menuntaskan tugasnya: menyerahkan rohnya.
Nah, omong-omong soal roh, kemarin saya memberi satu sesi yang belum tuntas karena rupanya saya terbentur pada pernyataan saya yang jadi skandal pemahaman sebagian audiens. Tidak mudah rupanya bagi saya untuk menjelaskan bahwa roh yang sedang saya bahas itu adalah istilah teknis bagi gerakan, dorongan afektif dalam diri orang, dan bukan roh yang gentayangan atau objek yang terikat ruang waktu dan bisa ditangkap dengan indra.  

Baik way of life dalam sunnah Nabi maupun roh Kristus (yang tak lain adalah juga way of lifenya) adalah talenta yang rupanya perlu dikembangkan bukan demi suatu aktualisasi diri, melainkan supaya roh atau way of life itu lebih berkembang dan gambaran Allah yang diucapkan dalam basmalah atau tanda salib itu sungguh hidup dalam diri hamba-hamba Allah. Perkaranya jadi runyam ketika orang-orang beragama ini mulai menghambakan diri pada sesuatu yang lain daripada kemuliaan Allah sendiri; dan hebatnya “roh jahat”, ia bisa menipu orang yang ketrampilan memilihnya tidak berkembang sehingga yang menurutnya baik sebetulnya malah sebaliknya. Dibutuhkan suatu seni juga untuk menata pilihan supaya manipulasi “roh jahat” itu tak menjadi-jadi.

Tuhan, mohon rahmat kerendahhatian supaya kami semata menghidupi way of life yang telah Engkau percayakan kepada kami. Amin.


MINGGU BIASA XXXIII A/2
Hari Orang Miskin Sedunia
15 November 2020

Ams 31,10-13.19-20.30-31
1Tes 5,1-6
Mat 25,14-30

Posting 2017: God’s Talent
Posting 2014: Setan Ketakutan

1 reply

  1. Sy senang Rm jg meninjau dr aspek hamba ketiga dlm tulisan th 2017 dn 2014, dn menambahkan cara hdp yg hrs dipertgjbkan. Kl dipikir2, hdp mns dlm tatanan kosmik seperti setitik debu yg tergantung di sinar matahari. Sdh kecil -setitikdebuditatanankosmik-, hdpnya jg di planet yg kecil dn melayang di tatasurya (bumi), tp gk bs rukun🤭🤔

    Like