Doa Koruptor

Ini pengulangan refleksi enam tahun lalu: doa orang suci itu tidak mengorupsi waktu kerjanya, tetapi menambah kualitas kerjanya, sementara itu, kerja orang kudus bukannya meniadakan waktu doanya, melainkan menyempurnakan, mengutuhkan, mewujudkannya. Dengan begitu, tak ada pemisahan antara doa dan kerja, tak ada korupsi pada keduanya. Tak mengherankan bahwa Guru dari Nazareth memberi wejangan supaya orang berdoa tiada jemu. [Sebetulnya nuansa tiada jemunya tidak merujuk pada kuantitas, melainkan kualitas orang yang teguh dalam relasinya dengan Allah dan tak terpengaruh oleh tendensi kejahatan yang tak kunjung usai. Ini saya singgung pada posting Doa Menyinyirkan Keadilan.]

Persoalannya ialah bahwa pendengarnya cenderung korup, mereduksi doa sebagai urusan ritual kesepakatan horisontal, yang jelas-jelas sifatnya fana. Akibatnya, rentan konflik karena menurut A harusnya begini, menurut B harusnya begitu. Konflik itu meleleh jika orang-orang yang terlibat di dalamnya menanggalkan bisnis ritual dan beranjak ke dimensi kesadaran yang memungkinkan orang berikhtiar menemukan cara melihat sebagaimana Allah kiranya melihat, merasa sebagaimana Allah kiranya merasa, menilai sebagaimana kiranya Allah menilai.

Loh, kok jadi ilmu kira-kira gitu, Rom? Gimana orang tahu cara berpikir Allah, cara menilai Allah, dan seterusnya itu wong sudah ditegaskan bahwa “rancanganmu bukanlah rancangan-Ku, jalanmu bukanlah jalan-Ku” (Yes 55,8)?
Nah justru itu, sekurang-kurangnya orang bisa menerima bahwa rancangannya sendiri belaka bisa bertentangan dengan rancangan Allah. Maka, dibutuhkan ikhtiar untuk detach terhadap rancangannya sendiri dan mengujinya dengan hal-hal yang kiranya klop dengan prinsip yang disinggung dalam teks bacaan pertama: kasih bin cinta.

Ambillah contoh yang gampang; yang sudah disodorkan Paulus, bahwa kasih itu tak cemburu. Apa yang spontan nongol di kepala orang biasa? Cemburu itu bumbu cinta, Rom, kalau gak cemburu malah pertanda gak sayang!🤭 Alih-alih bereaksi seperti itu, orang beriman biasa sebetulnya bisa berikhtiar untuk mengerti apa artinya bahwa kasih itu tidak cemburu, tanpa perlu berasumsi bahwa kalau tidak cemburu pasti tidak sayang! Kalau tidak, orang tak kunjung belajar bahwa kecemburuan muncul dari ego untuk menguasai, mengikat, memiliki, menundukkan yang lain. Cinta tidak memancar dari kepentingan ego, tetapi dari komitmen untuk membangun kebaikan yang lain atau kebaikan bersama.

Kalau begitu, sekali lagi, doa tiada jemu yang dimaksudkan Guru dari Nazareth ini bukanlah perkara pendarasan rumus atau doa syafaat atau ibadat keagamaan, melainkan perkara ketiadajemuan untuk berikhtiar menemukan kehendak Allah sedemikian rupa sehingga orang tiada jemu menemukan kesempatan untuk berkontribusi mewujudkan keadilan Allah dalam hidup sehari-harinya.
Njuk ritual agama gak relevan ya, Rom?
Mungkin gak relevan bagi yang menjalankannya tanpa ikhtiar tadi; pokoknya dah tugas sebagai imam, lektor, misdinar, kor, dan seterusnya. Padahal, ritual yang sehat semestinya membantu orang untuk mengangkat kesadaran akan pencarian kehendak Allah dalam hidupnya

Tuhan, mohon rahmat ketekunan untuk mencari jalan perwujudan keadilan cinta-Mu dalam hidup kami bersama. Amin.


SABTU BIASA XXXII A/2
PW S. Yosef Pignatelli (SJ)
14 November 2020

3Yoh 1,5-8
Luk 18,1-8

Sabtu Biasa XXXII B/2 2018: Awas Orba Kembali 
Sabtu Biasa XXXII C/2 2016: Mbok Tulus
Sabtu Biasa XXXII A/2 2014: Berdoa Kagak Kenal Cape’