Yamadipati

Kalau orang mau memahami dirinya, ia mesti bertanya pada dirinya sendiri mengenai kematian. Begitu kata Eberhard Jüngel, seorang teolog Lutheran, profesor emeritus pada Universitas Tübingen. Saya tidak begitu heran bahwa di seberang perpustakaan kampus itu terhampar sebidang tanah yang adalah kuburan. Juga ketika orang membaca di situ, Yamadipati atau malaikat kematian mampir menyambangi pengunjung yang melongok sebentar ke area makam. Sewaktu saya berkunjung ke sana, Yamadipati ini tak mengajak saya pergi supaya saya bisa nulis blog rupanya.🤭

Belakangan ini rasanya Yamadipati kerap berkunjung dan membawa pergi orang-orang yang menurut saya sedang berada dalam masa keemasan, masa produktif, masa jayanya. Suasananya mungkin punya kemiripan dengan adegan-adegan akhir Avengers: Infinity War, ketika sebagian jagoan itu raib menjadi debu dan hilang begitu saja. Teks bacaan pertama menggambarkan syukur penulisnya karena separuh dari jemaat yang ditujunya tinggal dalam kebenaran iman mereka. Mungkin juga teks bacaan kedua merujuk angka separuh itu: kalau ada dua orang di ladang, yang seorang akan dibawa, dan yang lain ditinggalkan; juga kalau malam hari ada dua orang di ranjang, yang satu dibawa, yang lain ditinggal. Waaaaaa…..

Begitulah teks bacaan hari ini omong soal hari-hari Anak Manusia dan bisa dimengerti kalau pikiran pembacanya berkeliaran ke hari kiamat, meskipun dunia teksnya sendiri bukan dunia kiamat. Saya jauh lebih percaya bahwa Allah itu Tuhannya orang hidup, dan itu berarti pesannya terfokus pada kehidupan, bukan kematian. [Itu mengapa saya cenderung heran kalau ada forum diskusi yang sibuk dengan ada apa setelah kematian. Kebanyakan teori spekulatif untuk pembenaran ideologi, hambok ya buktikan saja langsung, perkara selesai.] Teks bacaan hari ini masih dalam konteks nasihat supaya orang senantiasa alert, berjaga-jaga, tanpa harus jadi parno.

Situasi pandemi tidak serta merta membuat orang jadi lebih alert juga dalam kerohaniannya. Saya bukannya tak pernah mendengar candaan orang dewasa yang sebetulnya menunjukkan sikap fatalis, menyerah pada nasib. “Wong Christian Ronaldo saja yang bugar sehat itu bisa kena covid-19 kok!” “Orang yang gak ngrokok mati muda juga banyak kok!” “Orang yang sucinya minta ampun aja bisa mati karena ditusuk penggemarnya sendiri kok!” Begitu seterusnya. Orang kehilangan perpektif kehidupan, dan hidupnya jadi perkara antre kematian.

Semoga paragraf barusan tidak ditangkap sebagai preferensi saya untuk mempromosikan jogging atau olah raga lain, melarang merokok, melarang orang ugal-ugalan, dan seterusnya. Itu benar-benar none of my business! Kepentingan saya hanyalah meneruskan wanti-wanti Guru dari Nazareth tadi: berjaga-jagalah dalam hidup ini, bukan malah jadi fatalis. Orang fatalis menyayangi nyawa yang diberinya nutrisi dengan kesenangan indrawi semata: di situ tak dituntut askese, ingkar diri, penundaan kepuasan, dan apa pun istilahnya. Orang fatalis tidak melihat makna atau nilai intrinsik dalam tindakan kebaikan; tolok ukur hidupnya cuma berguna atau tak berguna, tak ada tempat untuk makna yang membawa kebahagiaan hidup. Yang dikejarnya cuma nyawa dunia ini, yang pasti dibawa Yamadipati.

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya kami dapat berjaga-jaga untuk memaknai hidup kami dengan terang cinta-Mu, yang tak lekang ruang dan waktu. Amin.


JUMAT BIASA XXXII A/2
13 November 2020

2Yoh 1,4-9
Luk 17,26-37

Jumat Biasa XXXII B/2 2018: Enjoy Your Life 
Jumat Biasa XXXII C/2 2016: Post-Power Syndrome
Jumat Biasa XXXII A/2 2014: Semakin Rohani, Semakin Lembut?

3 replies

  1. Rm, dlm kisahnya, ternyata Yamadipati mmg bersimpati dg seorg bernama S 🤣seorg yg tdk blh disebut namanya #tpbknvoldemort#🤣 dia melewatkannya. Bs jd juga krn dia suka membaca blog. Keren, keren,..🤣
    Kehidupan dn kematian adh kebenaran, dn tdk ada yg bs melarikan diri dari mereka. Kematian mengambil nafas terakhir, dn Kehidupan setia memberikan nafas sampai Kematian mengambilnya. Kehidupan adh perjalanan panjang yg hrs dilakukan mns, sampai menemukan Kematian yg sesaat.

    Liked by 1 person

  2. Eh, btw, Rm, yang sy baca, versi Yamadipati, Sang Dewa Pencabut Nyawa dan Penunggu Neraka, berujud raksasa besar, berjubah dan menakutkan, berparas buruk, namun berjiwa besar (dalam penampakan Sawitri, seorang dewa dengan cahaya memerah, kulit hitam memerah, mata memerah dan juga berpakaian serba merah). Ujud dan tugas yang diembannya membuat orang takut jika kedatangan Yamadipati. Bahkan bermimpipun tidak berani. Namun uniknya, ketika bertugas mencabut nyawa suami Sawitri, seorang Puteri Raja Aswapati dari Negeri Madras, Sang Dewa tersentuh dengan kesetiaan dan cintakasihnya pada suaminya, sehingga tidak jadi mencabut nyawa suaminya bernama Satyawan.

    Liked by 1 person