Seluruh tulisan pada blog ini tidak punya asumsi dasar bahwa surga, atau bagaimana pun hendak diistilahkan, adalah suatu balas jasa atau imbalan atas prestasi religius seseorang, sebagaimana seorang anak mendapat hadiah sepeda jika naik kelas. Pemahaman seperti itu bisa jadi sebelas dua belas dengan konsep “sintasan yang terbugar” alias survival for the fittest bin seleksi alam.
Loh, bukannya Guru dari Nazareth sudah berpesan supaya manusia berjuang karena pintu (surga) itu sempit, Rom?
Lha ya justru itu, kalau asumsi dasarnya surga adalah imbalan atau balas jasa tadi, berjuang-karena-pintu-sempitnya jadi perlombaan dan sikut-sikutan untuk memperoleh imbalan terbaik. Jadinya malah orang bikin neraka demi surga yang dihalusinasikannya.
Pesan Guru dari Nazareth itu bisa dilihat dengan sudut pandang lain: berjuang itu adalah jihad, usaha sungguh-sungguh atau usaha keras untuk menegakkan prinsip dasar hidup manusia sebagai ciptaan-Nya. Ini bukan perkara cari imbalan, juga bukan perkara berlomba-lomba dengan yang lain, seakan-akan yang lain itu adalah ancaman yang harus ditaklukkan. Saya percaya, jihad zaman now justru terletak pada elaborasi juga dengan ilmu dan kerohanian yang tumbuh dari tradisi lain. Dengan perspektif ini, surga bukan lagi objek yang terbatas oleh ruang waktu (nanti entah kapan, dalam grup tertentu entah yang mana), melainkan ada pada perjuangan atau jihadnya itu sendiri.
Teks bacaan hari ini menyajikan pertanyaan orang Farisi (yang sebetulnya juga pertanyaan sebagian dari Anda) tentang kapan datangnya surga. Orang-orang Farisi ini berpikiran bahwa surga baru tiba hanya setelah semua orang mematuhi hukum agama sebagaimana mereka melakukannya dengan ketaatan buta. Itulah tadi asumsinya: surga bagaikan permen atau sepeda hadiah kerajinan dan kepatuhan mereka kepada hukum. Ironisnya, dalam kerajinan dan kepatuhan itu mereka bisa-bisanya dikuasai iri hati dan kemarahan kepada orang lain yang tidak hidup seperti mereka, alih-alih belajar bersama! (Apakah itu bukan neraka, yang bikin hati panas dan tak tentram atau bikin hati dingin komplet dengan darahnya?)
Jawaban Guru dari Nazareth ya seperti asumsi dasar blog ini: surga itu sudah ada di tengah-tengah Anda sekalian. Jawaban ini sebetulnya memerdekakan orang. Kalau surga sudah tinggal di antara manusia, manusia tinggal mencari atau membangunnya bersama-sama dalam jihadnya. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak banyak orang yang sungguh-sungguh berminat untuk menjadi merdeka. Lebih suka terkungkung oleh apa kata orang, lebih nikmat terikat pada perasaan-perasaannya yang sempit, lebih nyaman terjerat oleh adat kebiasaan, lebih aman melekatkan diri pada tradisi mati, lebih tentram menghambakan diri pada status atau jabatan prestisius, dan seterusnya.
Betul juga sih kata Guru dari Nazareth. Surga yang diasumsikannya itu bukan surga adem ayem, melainkan surga yang memerlukan keterlibatan bersama, yang berpotensi menimbulkan konflik dan persekusi olah orang yang hidupnya sendiri terjajah. Gagap dengan perubahan, njuk jadi seperti kura-kura atau unta yang menyembunyikan kepalanya dalam tradisi tanpa reinterpretasi. Frustrasi karena kemajuan dunia yang begitu cepat, lalu jadi masa bodoh terhadap prinsip universal yang perlu diperjuangkan dengan jihad bersama.
Tuhan, mohon rahmat ketekunan untuk menyatakan Kerajaan-Mu dalam kebersamaan hidup kami sebagai orang-orang merdeka. Amin.
KAMIS BIASA XXXII A/2
12 November 2020
Kamis Biasa XXXII B/2 2018: Butuh Desain Interior
Kamis Biasa XXXII C/2 2016: Sudah Jago?
Kamis Biasa XXXII A/2 2014: Ganti Lensa Biar Bisa Fokus
Categories: Daily Reflection