Saya baru tahu bahwa kata lepra dalam bahasa Ibrani merupakan simbol kutukan Allah kepada orang-orang berdosa. Dulu memang penyakit pada umumnya dianggap sebagai hukuman dosa manusia, tetapi lepra ini rupanya paling simbolis. Kenapa? Begini kata tetangga jauh saya. Pertama, lepra bukanlah penyakit mematikan, tetapi membuat penderitanya kehilangan sensitivitas terhadap benda asing (panas dingin, kasar halus) bahkan terhadap apa yang terjadi pada anggota tubuhnya sendiri.
Hilangnya sensitivitas indrawi ini juga dipakai para nabi untuk menggambarkan umat Israel yang kehilangan sensitivitas moral: yang baik dibilang buruk, yang buruk dibilang baik. Alhasil, orang bisa sedemikian yakin bahwa yang dilakukannya itu baik justru ketika konsekuensinya mengerikan, menghancurkan, membuat kacau, menista kemanusiaan. Saya ingat kisah Daud yang begitu geram terhadap kisah Natan mengenai orang kaya yang merampas domba tetangganya yang miskin untuk dimasak sebagai sajian bagi tamunya. Daud bahkan memerintahkan supaya oknum itu memberi ganti rugi berlipat ganda dan dihukum mati. Natan mengingatkan Daud bahwa oknum itu adalah dia sendiri, yang telah merebut istri Uria dan merancang konspirasi untuk membunuh Uria dalam peperangan.
Kedua, penderita lepra ini sungguh marjinal. Juga dalam hukum religius diatur bagaimana mereka harus berpakaian dan berhubungan dengan orang lain. Kalau saya tidak salah ingat, mereka mesti mengenakan kerudung yang menutup wajah sampai ke bibir atas dan kalau ada orang lain mendekat, ia harus berteriak bahwa orang itu mesti menjauh karena dia menderita kusta. Penderita lepra ini mesti menjauhkan diri dari hidup biasa dan, pada kenyataannya, juga dijauhi masyarakat. Tidak selesai di situ, ketiga, mereka juga divonis sebagai orang yang dikutuk dan dijauhi oleh Allah sendiri.
Saya tidak menangkap cerita dalam teks bacaan Injil hari ini sebagai laporan peristiwa historis. Kemungkinannya kecil bahwa sepuluh orang kusta keluar dari tempat pengasingan dan masuk ke desa yang dikunjungi Guru dari Nazareth. By the way, kata “desa” sendiri, menurut ahli tafsir, merujuk pada mentalitas atau tradisi masyarakat waktu itu. Menariknya, kesembuhan terjadi ketika sepuluh orang lepra itu keluar dari desa. Artinya, bisa jadi justru tradisi masyarakatnyalah yang ‘sakit’, yang bikin orang jadi sakit. Lebih menarik lagi, satu dari sepuluh orang kusta itu (yang dianggap kafir) sadar dirinya sembuh, lalu kembali kepada Guru dari Nazareth untuk memuliakan Allah!
Dengan demikian, kisah selanjutnya tak perlu dibaca sebagai keluhan Guru dari Nazareth terhadap sembilan orang yang tak tahu berterima kasih. Teksnya tidak mengatakan begitu. Pertanyaan Guru dari Nazareth merujuk pada tiadanya orang dari sembilan penderita kusta itu yang kembali untuk memuliakan Allah (bukan kembali untuk berterima kasih padanya).
Rupanya begitulah wajah Allah: tidak bikin orang jadi marjinal karena penyakitnya, karena kehancuran hidupnya, tetapi bikin orang yang ambyar itu jadi bermartabat. Ini bukan penjungkirbalikan seperti dilakukan oleh orang yang kehilangan sensibilitas moral tadi, melainkan penjungkirbalikan karena kemuliaan Allah. Yang hancur hidupnya diangkat Allah, yang tampak gelap bagi logika manusiawi, diberi terang oleh Allah, yang tersingkir dan tanpa harapan diberinya makna.
Tuhan, mohon rahmat sensibilitas untuk memberi makna hidup, yang kadang gelap, seturut kemuliaan-Mu. Amin.
RABU BIASA XXXII A/2
Pw S. Martinus dari Tours
11 November 2020
Rabu Biasa XXXII B/2 2018: Khilaf Ah
Rabu Biasa XXXII A/2 2014: Revolusi Mental Pengemis
Categories: Daily Reflection
Setuju banget, rm😁bhw Yesus tdk menggantungkan kualitas belaskasihNya pd respons dr luar, tp mmg dr kualitas DiriNya Sendiri yg berbelas kasih, asiik
LikeLike
🤔tp kalau sensi, kayaknya iya deh🤣🤣🤣
LikeLike