Orang beriman tentu punya ungkapan dan perwujudan imannya, termasuk aneka macam praktik keagamaan. Akan tetapi, orang yang getol menjalankan praktik keagamaan tidak dengan sendirinya beriman. Bisa jadi malah sebaliknya: hendak memanipulasi Allah, mendominasi sesama. Contohnya pating tlècèk ada di sekeliling Anda, mulai dari yang dengan saleh dan kalem berdoa di depan patung sampai mereka yang berteriak-teriak “demi Allah” untuk menindas sesamanya.
Teks bacaan hari ini mengingatkan jati diri orang beriman sebagai hamba. Gambaran yang dipakai Guru dari Nazareth untuk dunia zaman now memang tidak mengenakkan. Maklum, sekarang ini dunia perbudakan pada umumnya sudah tak berterima. Bahkan, istilah pembantu rumah tangga juga rasa-rasanya kurang sedap lagi. Di lain pihak, human trafficking masih secara tersembunyi diupayakan justru oleh mereka yang bermental kebalikan dari hamba Allah, yang mau memanipulasi, menundukkan, mengobjekkan orang sebagai komoditi, demi tujuan egosentrisnya.
Akan tetapi, memang pada zaman itu perbudakan adalah praktik yang dianggap lumrah. Seorang budak adalah properti tuannya dan mati-hidupnya ada di tangan tuannya. Perlakuan tuan terhadap hamba-hambanya bisa jadi tak terbayangkan bagi orang zaman now, kecuali bagi orang sekarang yang bermental feodal. Kalau Guru dari Nazareth memakai praktik perbudakan, tentu bukan maksudnya mendukung perbudakan, melainkan menunjukkan poin yang bisa dimengerti pendengarnya.
Poinnya apa? Orang beriman itu pada prinsipnya adalah budak tadi. Bukan budak ciptaan lain, melainkan budak Cinta. Nah, di sini orang bisa muter-muter gak karuan karena Cinta memang bisa dirancukan dengan ciptaan lain, sebagaimana Allah bisa dirancukan dengan ideologi atau keyakinan yang semata muncul dari rasionalisme. Guru dari Nazareth, sederhananya mau memberi nasihat: wis rasah kakèhan polah (dah gak usah kebanyakan tingkah), sadarlah bahwa identitas orang beriman adalah hamba Allah itu, tak usah berlagak seakan-akan bisa jadi tuan atas ciptaan lainnya.
Ini rupanya berhubungan dengan pernyataan Guru dari Nazareth mengenai iman sebesar biji sesawi yang bisa memindahkan gunung ke laut, sesuatu yang ajaib, yang tak perlu ditangkap secara literal [dan kesimpulannya tak ada orang yang beriman di dunia ini atau teknologi semakin canggih bisa memindah Gunung Slamet ke sebelah Krakatau]. Keajaiban tidak terletak pada pemindahan gunungnya, tetapi pada transformasi orang menjadi budak Cinta sungguhan. Untuk keluar dari kontradiksi istilah, transformasi orang beriman ini melukiskan migrasinya dari menghambakan diri pada ciptaan lain menuju kualitas pahlawan cinta.
Dalam paradigma hidup beriman yang disodorkan Guru dari Nazareth, ciptaan lain, baik yang abstrak maupun yang konkret, perlu ditempatkan sebagai sarana untuk mengabdi Cinta sejati, yaitu Allah sendiri. Dengan begitu, orang yang sungguh beriman jadi pahlawan cinta, melalui tutur kata dan tindakannya.
Tuhan, mohon rahmat keterpautan hati pada-Mu supaya pengabdian kami pada-Mu tidak memanipulasi sesama. Amin.
SELASA BIASA XXXII A/2
Pw S. Leo Agung
Hari Pahlawan
10 November 2020
Selasa Biasa XXXII B/2 2018: HaRum Raisin
Selasa Biasa XXXII C/2 2016: Penjarahan Pake’ Agama
Selasa Biasa XXXII A/2 2014: Mau Muntah sebelum Blusukan?
Categories: Daily Reflection