Kemarin saya garis bawahi bahwa talenta dalam narasi Kitab Suci bukanlah talenta seperti anggapan orang pada umumnya sebagai potensi bakat atau kemampuan bawaan orang, entah itu berkenaan dengan keindahan atau kepintaran. Kenapa saya garis bawahi? Karena itu sekurang-kurangnya memerdekakan saya sendiri dan siapa saja yang mungkin tak punya potensi bakat atau kemampuan seperti itu. Bukan apa-apa, soalnya sejak tamat SMA, saya tak mengembangkan bakat musik saya seperti memainkan biola, flute, organ, gitar, dan lain-lainnya. Saya juga tidak mengembangkan potensi saya dalam sains, malah makin merosot.🤭 Dalam keadaan seperti ini, bisa-bisa saya skrupel atau merasa bersalah setiap kali baca teks Kitab Suci tentang talenta.😂
Hampir setiap pagi pada jalur jogging saya ada seorang anak laki-laki (saya tak yakin apakah dia memang anak) yang senantiasa duduk berjongkok di pinggir jalan dengan membawa bungkus plastik entah apa isinya. Suatu kali saya pernah lihat anak ini makan dedaunan. Anak ini tampaknya kehilangan penglihatan, tetapi pokoknya kalau ketemu, saya menyapanya. “Halo, Dik.” “Selamat pagi, Dik.” Baru hari ini saya mendengar dia merespon dengan kata-kata yang samar-samar, tetapi sekurang-kurangnya saya tidak menangkapnya sebagai ungkapan kemarahan. Semoga dia senang dengan sapaan saya, yang selama ini bertepuk sebelah tangan.
Kalau talenta dalam Kitab Suci itu disamakan dengan potensi bakat orang, njuk gimana dengan anak seperti ini (yang tak tahu seni dan sains), apakah tidak terdiskriminasi Kitab Suci, yang konon adalah kabar gembira?
Haiya sama aja, Rom; bahkan kalau talenta itu berarti roh atau way of life para nabi, bukankah anak seperti itu tetap terdiskriminasi karena tak punya kemampuan untuk menangkap roh atau way of life para nabi itu?
Ya beda dong!
Jika talenta itu diidentikkan dengan aneka potensi bakat orang, tolok ukurnya terletak pada bakat seni dan sains tadi. Orang dianggap hidup seturut nasihat Kitab Suci ketika bakat seni dan sainsnya diakui publik. Maka, selama dia hanya jongkok di tepi jalan, makan rumput dan dedaunan, itu tak akan diperhitungkan. Mungkin baru diperhitungkan jika dia mampu menghabiskan daun sepohon dalam beberapa hari, karena itulah yang menarik perhatian orang, memukau, menakjubkan! Akan tetapi, sudah saya bilang, tafsir seperti itu menyesatkan dan diskriminatif.
Teks bacaan hari ini mengisahkan orang buta yang duduk di pinggir jalan dan kerjanya mengemis. Apakah duduk di pinggir jalan dan mengemis itu talentanya?🤭 Pasti bukan dong. Talentanya, sekali lagi, adalah way of life atau roh yang ditularkan padanya. Mari perhatikan gerak batin orang buta ini ketika mendengar suara orang banyak lewat dan kepo suara apa itu, dan ketika diberi info bahwa Guru dari Nazareth lewat, terdoronglah ia untuk berteriak minta belas kasihan. Ujung-ujungnya ia menyatakan pula hasrat terdalamnya. Kemampuan untuk mengerti dan menyatakan hasrat yang “gue banget” itulah talenta yang dikembangkannya.
Dalam diri anak yang pertama kalinya merespon sapaan saya itu, saya tangkap roh yang berkembang. Seperti saya, dia punya panggilan ke arah itu, tetapi dengan conditioning yang berbeda, dan terlepas dari perbedaan conditioning, kemuliaan hati anak ini meneguhkan saya juga, bahkan meskipun ia tetap tak bisa melihat saya, tak punya prestasi akademik, tak masuk hitungan world’s got talent.
Tuhan, kasihanilah kami dan buatlah kami melihat. Amin.
HARI SENIN BIASA XXXIII A/2
16 November 2020
Why 1,1-4; 2,1-5a
Luk 18,35-43
Senin Biasa XXXIII B/2 2018: Dicari: Liyan
Senin Biasa XXXIII C/2 2016: Mana Gembiranya?
Senin Biasa XXXIII A/2 2014: Dah Tau Nanya’
Categories: Daily Reflection
Konon penderitaan mendatangkan kesepian, Rm. Makanya mungkin awalnya dia tdk memahami sapaan Rm. Seorg buta sampai hrs makan rumput dn dedaunan, 😔brgkl org itu bahkan mempunyai kesadaran akn realitas yg jauh lbh tinggi dr kita, yg suka ribut2 #dg perut kenyang atau asal perut kenyang#
LikeLiked by 1 person