Kemarin sudah direfleksikan bagaimana tulisan apokaliptik hendak membongkar cara pandang orang yang bikin baper doang dan kiranya bisa dipahami via tulisan atau via kotbah. Hari ini Gereja Katolik menyodorkan bacaan yang berkarakter sastra apokaliptik, yaitu kitab Wahyu. Tak begitu kelihatan ada nuansa mengerikan tentang akhir zaman, dan memang apocalypse bukan pertama-tama soal mengerikan atau tidaknya gambaran yang diberikan. Apocalypse adalah misteri dalam sejarah, perjalanan ‘Gereja’, harapan, Kabar Gembira yang dikonkretkan dalam sejarah. Orang tak bisa mengerti Kabar Gembira jika tidak membaca apocalypse ini dan, sebaliknya, orang juga tak paham apocalypse kalau tidak melihatnya dalam terang Kabar Gembira.
Kabar Gembira hari ini digambarkan dengan kisah seorang buta yang memohon supaya dapat melihat kembali. Di mana gembiranya? Bahwa si buta ini melihat? Ya betul, si buta ini gembira banget bisa melihat kembali, tetapi kalau kita cuma melihat warta gembiranya di situ, kita belum menangkap ciri apokaliptik yang dijelaskan kemarin. Bahwa si buta itu melihat, ini adalah karakter fisik, cara pandang manusia yang mengundang tanggapan baperistik. Andaikanlah si buta ini saking gembiranya bisa melihat kembali lantas melonjak-lonjak girang dan pada lonjakan terakhir dia luput dan terjatuh lalu mata kirinya terantuk ujung meja dan mata kanannya tercolok jari orang lain yang ikut melonjak girang, dan dia harus tak bisa melihat lagi! Apakah masih gembira atau girang? Hahaha… itulah baperistik, bergantung kesan inderawi. Lain halnya kalau orang mengerti maksud ungkapan apokaliptik.
Warta gembiranya ada pada tindakan si buta yang sembuh itu mengikuti Yesus dengan memuliakan Allah. Mengikuti Yesus pada saat itu jelaslah artinya sebagai konsekuensi psikis dan juga fisik. Ia mengikuti orang yang menyembuhkannya, yang ada di situ fisiknya. Akan tetapi, mari ingat lagi teguran Yesus kemarin, iman orang yang dipusatkan pada hal fisik itu akan hancur, ambrol, runtuh, entah kapan. Maka, Kabar Gembira pasti tak bisa direduksi sebagai properti agama tertentu wong waktu itu juga belum ada agama Katolik atau Kristen.
Artinya, mengikuti Yesus dengan memuliakan Allah itu jelas maksudnya lebih universal daripada memeluk agama tertentu. Ini sama sekali bukan provokasi bagi suatu slogan ‘Christ yes, Church no’ atau ‘faith yes, religion no’ atau slogan serupa lainnya. Pemuliaan Allah adalah konsekuensi si buta yang mengalami kesembuhan dan si buta ini adalah representasi semua orang yang mengalami kebutaan akan kebenaran, representasi orang yang merindukan Kebenaran. Gloria Dei homo vivens berlaku bukan hanya untuk agama tertentu: kemuliaan Allah tampak pada manusia, apapun agamanya, yang hidup, yang bernyawa, yang punya api, bukan yang nglokro, loyo, tanpa jiwa, dan sejenisnya.
Manusia yang hidup ini bukan jenis manusia yang arogan terhadap kemampuan dirinya sendiri (meskipun memang ia punya kemampuan itu), melainkan manusia yang seperti si buta itu, menyerukan kerahiman Tuhan, memohon belas kasihan dari-Nya dan melibatkan hidupnya dalam proyek mulia Allah. Celakanya, seperti orang yang berjalan di depan, agama bisa menggerogoti proyek mulia itu dengan agenda mengeksklusi agama lain dari rengkuhan Allah sendiri. Ironis, bukan? Mengklaim agamanya universal, tetapi menginjak-injak agama yang berbeda!
Tuhan, kasihanilah kami.
HARI SENIN BIASA XXXIII
14 November 2016
Why 1,1-4; 2,1-5a
Luk 18,35-43
Posting Senin Biasa XXXIII B/1 Tahun 2015: Transformer
Posting Senin Biasa XXXIII Tahun 2014: Dah Tau Nanya’
Categories: Daily Reflection