Ketika mendekati vespa sekeluarnya dari toko swalayan di daerah Salemba, ternyata ada orang lain yang juga mendekati vespa saya. Entah dari mana makhluk itu; sewaktu saya parkir vespa tadi tiada dia di situ dan hanya ada kendaraan saya yang terparkir. Saat saya mengenakan helm, tangan kanan makhluk yang berdiri di depan vespa saya itu memainkan beberapa koin dengan bantuan gravitasi sehingga tumbukan pada tangannya itu menimbulkan sensasi bunyi bernuansa,”Ini duit gue, mana duit loe?”
Saya membebaskan tugas standar vespa sambil bertanya baik-baik,”Ada apa, Bang?” [Padahal saya sudah tahu di situ ada macam-macam, namanya juga toko swalayan]
“Parkir!” begitu balas sang kakak yang masih memainkan konser recehnya.
“Parkir pala lu pèyang!” Suara khas Pok Romlah dari Kampung Poncol mak bedundug muncul di kepala saya. Saya menunjuk tulisan besar di kaca toko swalayan: PARKIR GRATIS.
“Nah tuh dibilang parkir gratis, Bang.”
“Iye tu buat mobil boks barang, buat supplier ngedrop jualannya.”
“Ya uda, Bang, ntar deh kalo gue parkir mobil di sini ya.” Mesin vespa sudah mulai menjalankan tugasnya dengan suara lumayan keras dan merangsang makhluk hidup itu mengeraskan volume suaranya.
“Bener lu ye besok kalo ke sini lagi bawa mobil boks!”
“Iye iye,” saya tertawa sembari ngegas mesin vespa supaya menjauhi makhluk ‘siluman’ tadi.
Begitulah pengalaman saya yang terjadi kira-kira 25 tahun lalu. Apakah ini ada hubungannya dengan teks bacaan hari ini, silakan Anda menjawabnya sendiri. Yang jelas, saya langsung teringat prinsip tauhid dalam Islam: bukan tentang angka satu matematika, melainkan tentang kesatuan ‘zat’ Pencipta, yang mau tak mau menghubungkannya dengan apa saja yang diciptakan-Nya.
Teks Markus ini memang berpotensi memancing paham yang keliru mengenai hukum agama, seakan-akan ada dua hukum utama, yang pertama mencintai Allah dan yang kedua mencintai sesama. Ada hal yang urusannya dengan Allah, dan ada hal yang urusannya dengan sesama. Pada teks lain, meskipun tidak dinyatakan hirarki hukum, tetap dikatakan ada dua perintah utama yang serupa. Baru pada tulisan Yohanes ada petunyuk bahwa sesungguhnya ya hanya satu perintah: kasihilah satu sama lain, yang tak mungkin terjadi jika orang tak mendengarkan suara panggilan Allah.
Suara panggilan Allah itu jadi naif jika dimengerti seperti suara Pok Romlah di kepala saya tadi. Saya kira ini lebih berkenaan dengan usaha-usaha manusiawi, ikhtiar untuk mencari jalan yang benar, dan jalan yang benar bukanlah perkara dogmatis (agama), melainkan soal kembalinya orang pada sosok yang menjadi dasar prinsip tauhid tadi. Hanya dalam keadaan itu, orang (beriman) mengalami kebahagiaan sejati tanpa kondisi. Pada kenyataannya, lebih banyak orang yang memilih kebahagiaan bersyarat karena yang tak bersyarat itu malah lebih berat: mengandaikan komitmen (yang berarti usaha kuat dengan segala pengorbanannya) dalam sikap yang diwarnai oleh detachment. Contoh receh saya tadi ialah tukang parkir ‘siluman’ yang dengan usaha kerasnya menarik iuran sukarela dan (semoga) tidak jadi stress karena calon korbannya jadi ‘siluman’ juga, sluman slumun slamet.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk menemukan jalan kebenaran-Mu dalam perjumpaan kami dengan sesama. Amin.
HARI MINGGU BIASA XXXI B/1
31 Oktober 2021
Ul 6,2-6
Ibr 7,23-28
Mrk 12,28b-34
Categories: Daily Reflection