Jalan Menuju Allah

Suatu hari saya pergi jalan-jalan dengan ayah saya melalui pedesaan Jawa. Pagi yang indah. Ayah memang senang menikmati pesona alam buatan matahari tropis yang secara ajaib muncul di hadapan kami. Sedikit demi sedikit, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aku berlari di sampingnya. Setelah beberapa saat diam menikmati keindahan alam itu, ayah saya memecah keheningan, “Lihat, indah sekali! Tahukah kamu dari mana asalnya begitu banyak keajaiban berasal?”
“Ya, Ayah. Allah memberikannya kepada kita!”
“Betul sekali! Semuanya diberikan kepada kita oleh Tuhan yang menciptakan segalanya, gunung, tanaman, bunga di ladang.”
Saya ingat saat itu, terdorong keinginan kuat untuk mengenal Tuhan, saya mengajukan pertanyaan ini kepadanya,”Mengapa Ayah tidak menjelaskan kepadaku siapa Tuhan itu, di mana Dia, dan apa yang Dia lakukan?”

Malu dengan pertanyaan itu, ayah saya tersenyum, lalu mulai memberi saya penjelasan panteistik tentang dunia dan saya tidak dapat memahami sedikit pun. Namun, sebagai penutup, dia mengucapkan kata-kata ini kepada saya dengan sangat serius, “Anakku, kamu harus menjadi seorang ksatria, setia pada hati nuranimu, dan berusaha keras menemukan jalanmu menuju Tuhan. Aku sendiri harus mencari Tuhan dengan melalui banyak kesulitan dan pengorbanan yang besar sebelum menemukannya. Tetapi aku tidak dapat menunjukkan jalan yang kulalui itu, karena aku berjanji di bawah sumpah kepada mereka yang membimbingku, untuk tidak menunjukkan jalan ini kepada siapa pun, tidak juga kepadamu.”
Saya terpaku; tetapi pada saat itu saya memutuskan untuk juga mencari jalan saya untuk sampai kepada Tuhan.

Kelak, “saya” dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang, Jawa Tengah, Indonesia. “Saya” adalah Mgr. A. Soegijapranata SJ.