Pilih Missqueen

Kira-kira apa yang terjadi jika Anda datang berkunjung ke keluarga miskin dan bersabda,”Berbahagialah kalian yang miskin karena kalianlah yang empunya Keajaan Allah.”? Saya tidak tahu, karena faktor tanggapan bisa sangat beragam, tetapi jelas jika Anda berlagak menirukan ucapan Guru dari Nazareth dengan modal hafalan seperti itu, Anda salah asuhan.

Ucapan itu disampaikan Guru dari Nazareth kepada murid-muridnya, bukan kepada sekelompok orang miskin yang untuk bertahan hidup saja barangkali begitu berat. Apa murid-murid Sang Guru ini adalah orang-orang miskin? Tampaknya tidak, karena jika kita lihat kisah panggilan para murid, ada refren yang menyiratkan keadaan mereka yang punya banyak properti: mereka meninggalkan semua/segalanya dan mengikuti Guru dari Nazareth!
Kalau begitu, kemiskinan yang dimaksudkan di sini pasti tidak merujuk pada kuantitas minim properti, tetapi pada pilihan yang memungkinkan orang meninggalkan semua tadi. Singkatnya, miskin yang dibahas Guru dari Nazareth ini adalah soal pilihan, sama sekali bukan soal nasib.

Kebanyakan orang menghidupi nasib miskin, entah dalam arti material atau spiritual; dan itulah yang dalam akhir teks bacaan Injil hari ini disinggung dengan ‘sabda celaka’, suatu istilah yang sebetulnya bisa menyesatkan karena cenderung bisa ditangkap sebagai kutukan atau umpatan. Sangat aneh jika Guru dari Nazareth mengutuk orang kenyang, tertawa, atau populer. Ini mesti terhubung dengan ungkapan di awal tadi: berbahagialah kalian yang miskin karena pilihan, bukan karena nasib! Miskin karena nasib itu justru memprihatinkan, bikin ‘mak sengkring‘, bikin pilu, prihatin: karena pilihannya keliru.

Miskin sebagai pilihan itu gimana jal?
Ya seperti refren panggilan kemuridan tadi: meninggalkan segala-galanya untuk mengikuti Guru dari Nazareth menjalankan program Kerajaan Allah. Abstrak, Mo.
Baiklah dari yang konkret, yang toh konon kemudian diteorikan juga sebagai hukum supply and demand alias permintaan dan penawaran (oh terbalik ya). Ini tugas guru SMP Anda menjelaskannya. Tugas saya hanyalah menunjukkan asumsi di balik hukum itu: paradigma bahwa manusia adalah pemilik properti, yang empunya seluruh ciptaan di dunia ini. Karena manusia pemiliknya, jika ada manusia lain hendak mengambilnya atau memanfaatkannya, ya beli dong, gak bisa lagi model barter!

Meninggalkan segala-galanya bukanlah perkara membuang harta milik, meninggalkan segala properti yang sudah didapat dengan susah payah, melainkan perkara membuang paradigma bahwa seluruh properti itu adalah miliknya semata! Bukankah dengan paradigma itu akhirnya kapitalisme merebak dan mengakibatkan banyak orang bernasib miskin?
Kalau begitu, memilih miskin, meninggalkan semuanya adalah perkara hidup dengan harapan dan proyek supaya segala properti itu tidak diakumulasi untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk kepentingan bersama dalam saling ketergantungan. Tanpa harapan dan proyek seperti itu, orang menghidupi nasib miskinnya. Wujudnya bisa cari kenyang, ketawa-tawa, atau cari popularitas sebagai tujuan proyek hidupnya, bukan lagi sarana atau konsekuensi.

Jangan mau bernasib miskin, tetapi pilihlah hidup miskin karena yang pertama menyedihkan, yang kedua membahagiakan.
Tuhan, mohon rahmat keberanian untuk memeluk kemiskinan sebagai jalan kemanusiaan dan keilahian. Amin.


HARI MINGGU PEKAN BIASA VI C/2
13 Februari 2022

Yer 17,5-8
1Kor 15,12.16-20
Luk 6,17.20-26