Semakin lama rasanya semakin mengertilah saya bahwa memang Kitab Suci orang-orang Kristen, termasuk yang berbentuk naratif, tidak bisa semata dibaca sebagai kumpulan kronik alias catatan aneka peristiwa dalam lintasan sejarah kronologisnya. Saya ingat dulu ada yang berteori bahwa Guru dari Nazareth itu jenius karena pandai memanfaatkan angin danau yang lari ke daratan untuk membawa suara khotbahnya sehingga orang banyak di daratan bisa mendengarnya. Dia berkhotbah dari danau dan suaranya didengar banyak orang di daratan. Ck ck ck, hebat, brilian!
Akan tetapi, saya yakin, beliau tidak berminat sama sekali dengan puja-puji macam itu; bahkan kalau teori itu memang benar (dan anehnya mengapa guru-guru lain tak menerapkan hal serupa). Pertanyaan saya terhadap teks bacaan hari ini sederhana: mengapa mesti disebutkan perahu Simon (jika poinnya merujuk pada kejeniusan Guru dari Nazareth memperhitungkan akustik di danau)? Apa pentingnya Simon? Kalau tak penting, penulisnya benar-benar kurang kerjaan kayak saya, nulis bahkan yang gak penting-penting?🤭
Simon, jelas merujuk pada murid ring satu Guru dari Nazareth. Akan tetapi, apa hanya karena ring satu namanya mesti disebut? Bukankah murid ring satu ada juga yang lainnya? Entahlah, mungkin karena dia dianggap sebagai leader bagi murid-murid ring satu lainnya. Pokoknya, dia merepresentasikan murid Guru dari Nazareth yang nyantrik gurunya yang berkhotbah? Apakah dia lalu meniru gurunya berkhotbah di danau? Saya sangat tidak yakin. Akan tetapi, entah meniru gurunya atau tidak, pada saat Guru dari Nazareth berkhotbah, Simon sendiri tidak berkhotbah; cuma perahunya dipakai gurunya untuk berkhotbah.
Barangkali justru di situlah poinnya: barang apa (entah konkret atau abstrak) dari murid yang dipakai Sang Guru untuk melantangkan Sabda Allah sehingga terdengar atau tertangkap ke seluruh penjuru audiens?
Perahu, dalam narasi Injil, tampaknya disepakati sebagai simbol kumpulan jemaat beriman; sehingga pertanyaan tadi bisa diarahkan kepada kumpulan jemaat beriman: apanya dari kumpulan jemaat itu yang memungkinkan Kabar Gembira terdengar ke segala penjuru?
Detail peristiwa cerita teks ini juga menarik jika didekati dengan bingkai simbolik. Apa kata dunia jika orang menjala ikan di siang bolong, ketika ikan-ikan yang biasa dipancing atau dijala itu adalah hewan air yang istirahat di kedalaman? Ini bisa jadi olok-olokan praktisi perikanan rekan sejawat Simon! Akan tetapi, Sang Guru justru meminta Simon bertolak ke tempat yang dalam: ruang yang penuh bahaya dan (kekuatan) gelap yang tak terprediksi. Hasilnya? Keberlimpahan! Ini bukan perkara mukjizat, melainkan penjungkirbalikan cara berpikir dari yang mengandalkan common sense belaka ke paradigma yang memberi ruang bagi Sabda Allah untuk bekerja.
Kalau begitu, orang beriman sepantasnya membalik logikanya: bukan lagi percaya Sabda Allah karena (atau jikalau) terjadi sebuah mukjizat, melainkan percaya Sabda Allah supaya hidupnya dipenuhi keberlimpahan (mukjizat)! Di hadapan misi seperti itu, pantaslah Simon tersungkur sebagaimana Paulus juga mengakui diri seperti bejana tanah liat yang rapuh. Apa toh misi Simon dan murid-murid Sang Guru ini?
Di bagian akhir teks kisah dalam bahasa Indonesia dituliskan tugas ‘menjala manusia’, tetapi sebetulnya ide kata kerja ζωγρῶν (zógreó, Luk 5,10) bukanlah perkara analogi menangkap ikan dan objeknya diganti dengan manusia. Dalam bahasa Inggris itu berarti to catch, to take alive. Saya lebih suka terjemahan bahasa Italianya: portare alla vita alias membawa (orang) kepada kehidupan. Itu pe er Anda dan saya.
Tuhan, mohon rahmat kemurahhatian supaya pikiran, tuturan, dan tindakan kami membawa semakin banyak orang mengalami kehidupan sejati. Amin.
HARI MINGGU PEKAN BIASA V C/2
6 Februari 2022
Yes 6,1-2a.3-8
1Kor 15,1-11
Luk 5,1-11
Posting 2016: Rekayasa Perjumpaan
Categories: Daily Reflection