Apa Berkahmu

Jikalau kamu mencintai orang yang mencintai kamu, apa berkahmu? Karena orang-orang berdosa pun mencintai orang-orang yang mencintai mereka. (Luk 6,32) Kata ‘berkah’ memang saya pakai untuk mengganti teks terjemahan bahasa Indonesia (yang menggunakan kata ‘jasa’). Menurut saya, ini lebih tepat untuk mengerti bacaan hari ini, yang adalah kelanjutan dari bacaan minggu lalu, yang menyodorkan program Guru dari Nazareth untuk mewartakan kabar gembira kepada kaum miskin (yang tidak identik dengan orang berpenghasilan rendah atau tak berduit).

Awal dan akhir kisah bacaan hari ini sangat kontras. Orang banyak yang pada awalnya terpukau atas wacana dan proposal program yang disodorkan Guru dari Nazareth, di akhir cerita digambarkan begitu marah dan hendak menjelomprongkannya ke jurang. Apa sebabnya? Tak lain adalah ‘karena’ teks yang saya sitir di awal tadi: mereka tersinggung karena Guru dari Nazareth mempertanyakan berkah yang mereka miliki atau berkah yang mereka bagikan jika mereka bersikap eksklusif dalam hal keselamatan atau warta gembira tadi. Sang Guru ini dengan jelas menunjukkan fakta bahwa Allah mengutus nabi-Nya malah bagi mereka yang, dalam pandangan orang Yahudi, kafir!

Ini curcol. Pada sekitar pergantian tahun yang lalu, saya menjalani retret dan pada momen itu saya ‘berhasil’ mendoakan sosok orang yang sepak terjangnya melukai, bukan hanya komitmen hidup saya, melainkan juga banyak orang yang terlibat di dalamnya. Pada momen itu, kebahagiaan tak terurai dengan kata dan saya semakin yakin bahwa tolok ukur penting untuk pengampunan ialah bahwa orang dapat secara tulus mendoakan kebaikan mereka yang melukainya.

Ini juga curcol. Kemarin saya mendengar khotbah orang yang menyarankan supaya jika orang hendak berbuat baik secara tulus, dia mesti mencari orang yang jelas-jelas tak bakal bisa membalas kebaikannya. Saya malah heran dengan khotbah begitu, bahkan meskipun dikaitkan dengan aneka macam teks kitab suci. Berbuat baik ya berbuat baik ajalah, kenapa mesti mikir apakah orang itu bisa membalas kebaikan kita atau tidak (lagipula, gimana ngukurnya coba)? Apakah ketulusan itu perkara hitungan matematis jika orang membalas kebaikan kita berarti kita tak tulus sehingga orang mesti memastikan dulu bahwa orang yang kita bantu tak akan bisa membalas kebaikan kita?

Kelapangan hati yang disodorkan Guru dari Nazareth saya kira dimaksudkan supaya kebaikan itu menjadi berkah, bukan wujud nafsu serakah, betapapun labelnya kebaikan. Berkah yang dicontohkan Guru dari Nazareth muncul dari compassion, bukan dari compulsion.
Tuhan, mohon rahmat supaya hidup kami sungguh jadi berkah
. Amin.


HARI MINGGU PEKAN BIASA IV C/2
30 Januari 2022

Yer 1,4-5.17-19
1Kor 12,31-13,13
Luk 4,21-30

Posting 2016: Cara Melupakan Masa Lalu