Spirit Dhol

Dulu pernah saya singgung bagaimana kemajuan iptek memunculkan hasil ciptaan manusia yang sungguh mengundang decak kagum. Maka, bahkan jika robot ciptaan manusia dapat berpikir seperti manusia super, orang tak perlu mencemaskannya. Pada kenyataannya, AI yang merambah dunia komputasi dalam jaring memunculkan aneka terobosan yang memudahkan hidup orang, meskipun di lain sisi juga bisa menyulitkan orang lain. Yang lebih mencemaskan ialah manusia yang berpikir seperti robot.

Beberapa waktu lalu sempat heboh spirit doll yang perawatannya membutuhkan babysitter dengan gaji dua kali lipat gaji saya (upsss….) padahal tuntutan pekerjaannya jelas-jelas jauh lebih ringan daripada yang saya tanggung. Saya gak iri sih dengan besaran gajinya, tetapi risih karena sepertinya ada yang dhol dengan spirit kehidupan sosial kita.
Dhol itu begini loh: Anda memutar obeng untuk mengencangkan baut pada suatu perkakas sampai melampaui batas sehingga malah uliran baut itu tak bisa lagi berfungsi merekatkan atau merenggangkan dua komponennnya. Bisa diputar terus tanpa henti tetapi tak mengubah apa-apa; tidak bikin kencang, tetapi juga tak bisa mengendorkan. Dhol…

Lukas menyodorkan proposal Guru dari Nazareth dalam pembukaan tulisannya: menyampaikan kabar baik kepada orang miskin, pembebasan tawanan dan orang tertindas, penglihatan orang buta, dan seterusnya. Anda tahu bahwa kata-kata ‘miskin’, ‘tawanan’, ‘orang tertindas’, ‘orang buta’ itu punya acuannya pada orang konkret tertentu: gaji di bawah UMR, perang, kerja rodi, dan seterusnya. Ya, itu termasuk, tetapi yang dimaksud Guru dari Nazareth tidak terbatas pada kelompok orang itu.

Ambillah contoh kata ‘miskin’. Akan jadi sangat miskin pengertiannya jika hanya diberlakukan untuk mereka yang hidup menggelandang tanpa penghasilan tetap, rumah tak beratap tak berdinding, kurus kering susah mendapatkan makan, dan sejenisnya. Kata ‘miskin’, saya pikir, bisa juga dimengerti dengan imaji sebuah masjid, misalnya, yang bersih tanpa atribut bertele-tele. Semua orang yang datang untuk bersembahyang di sana sama, entah datang dengan mobil atau dengan kuda, dengan pakaian mahal atau murah, dengan sepatu baru atau sandal jepit, dan seterusnya. Semuanya sama di hadapan Allah: sama-sama miskin karena di hadapan-Nya, manusia cuma bisa menerima dan bersyukur atas apa yang diterimanya dari Allah! Coba, apa yang bisa mereka berikan kepada Allah sebagai ganti atas apa yang mereka terima? Tidak ada sama sekali; bahkan jika ada pun, tak akan pernah sebanding.

Tapi apa daya, kalau orang spiritnya dhol, hubungan dengan Allah pun dihayati seperti hubungan jual beli di pasar. Ada harga ada rupa. Orang seperti ini, entah gajinya di bawah UMR atau bisnis vaksinnya mencapai trilyunan dollar, bukanlah orang miskin yang dimaksud Guru dari Nazareth tadi. Warta gembira yang disampaikan Guru dari Nazareth hanya mungkin ditangkap oleh orang miskin yang tak berpretensi sebagai rekan bisnis Allahnya. Orang miskin macam ini tak berlagak: kalau aku bikin ini, pasti Tuhan kasih aku itu, kalau amalku sebesar itu, pasti Tuhan balikin rezekiku sebesar ini, dan seterusnya.

Maka dari itu, pantaslah dikatakan bahwa orang miskin berbahagia karena juga dalam setiap tindakannya, ia tak berpikir mengenai balasan, tetapi mengenai cinta Allahnya yang tanpa syarat, yang menggerakkan spiritnya untuk menularkan cinta-tanpa-syarat tadi.
Tuhan, mohon rahmat supaya spirit kami tidak sampai dhol
. Amin.


HARI MINGGU BIASA III C/2
23 Januari 2022

Neh 8,3-5a.6-7.9-11
1Kor 12,12-30
Luk 1,1-4; 4,14-21

Posting 2016: Mohon Penjelasan Pak Pulisi