Momen penampakan Tuhan alias epifania tak terbatas pada peristiwa kunjungan orang Majus ke Betlehem dan pembaptisan Guru dari Nazareth, tetapi juga peristiwa perkawinan di Kana. Tak sedikit orang Kristen yang keliru membaca teks hari ini dan menganggap kemuliaan Tuhan itu terletak pada kemampuan bikin mukjizat, mengubah air jadi anggur, tetapi saya kira itu pemahaman yang meleset, kalau bukan sesat. Ada banyak hal yang bisa dipetik dari narasi hari ini, tetapi cukuplah saya bahas beberapa imaji saja.
Imaji pertama: pesta perjamuan perkawinan; tapi kenapa tak menyinggung sosok mantennya?
Ini bicara mengenai perkawinan jenis lain, yang mantennya bukan sebangsa Upin Ipin. Mungkin Anda ingat teks Yoh 3,28-30 mengenai kata-kata Yohanes Pembaptis mengenai dirinya dan Guru dari Nazareth (Kamu sendiri dapat memberi kesaksian, bahwa aku telah berkata: Aku bukan Mesias, tetapi aku diutus untuk mendahuluinya. Yang empunya mempelai perempuan, ialah mempelai laki-laki; tetapi sahabat mempelai laki-laki, yang berdiri dekat dia dan yang mendengarkannya, sangat bersukacita mendengar suara mempelai laki-laki itu. Itulah sukacitaku, dan sekarang sukacitaku itu penuh. Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil). Jelas ya di situ ‘mempelai laki-laki’-nya adalah Yesus dari Nazareth.
Imaji kedua: enam tempayan kosong. Dalam terjemahan bahasa Indonesia tidak dikatakan bahan tempayan itu, tetapi dalam bahasa lain diterangkan bahwa tempat air itu terbuat dari batu dan dipakai sebagai tempat air pembasuhan seturut adat Yahudi. Angka enam menunjukkan pada ketidaksempurnaan, yang baru menjadi penuh pada angka tujuh. Ini dilekatkan pada tempayan batu, yang mengingatkan orang Yahudi pada hukum yang tertera pada batu. Kosong, kehilangan fungsinya untuk purifikasi alias pembersihan atau penyucian orang dari kenajisan. Ini tidak sulit dibayangkan: jika harus mengingat-ingat 613 resep perintah dan larangan agama, berapa banyak orang beragama yang sanggup melakukannya? Kalau pun ada banyak orang yang sanggup melakukannya, apakah hidup orang seperti ini benar-benar membahagiakan? Apakah perjumpaan dengan Tuhan itu jadi momen kemerdekaan atau dipenuhi dengan ketakutan karena pasti ada saja yang kurang, tak sempurna, tak suci, dan seterusnya?
Imaji ketiga: anggur. Dalam teks Kitab Suci, anggur menyimbolkan kegembiraan hidup, kegembiraan cinta. Konon dalam teks Perjanjian Lama dibicarakan 141 kali dan Perjanjian Baru 34 kali mengenai anggur kehidupan. Ini menunjukkan pokok bahasan penting. Dalam teks dikatakan bahwa yang pertama kali menyadari keadaan pesta tanpa anggur itu adalah ibu Yesus, yang rahimnya mengandung sosok pribadi yang membawa cinta Allah. Ia tidak mengatakan bahwa mereka sudah kehabisan anggur, tetapi mereka tak punya anggur! Pesta tanpa anggur: tak ada kegembiraan! Tak ada kegembiraan dalam hidup yang dihantui aneka keharusan tanpa perjumpaan autentik dengan ‘mempelai’ tadi. Maka, frase ‘anggur yang baik’ dalam terjemahan bahasa Indonesia semestinya tidak merujuk pada rasa di lidah, tetapi pada nuansa yang indah. Apalagi kalau bukan kegembiraan tadi, bukan?
Sayang beribu sayang, tak sedikit umat beragama yang lebih gemar dengan mentalitas budak yang mengejar upah daripada mentalitas hamba yang menghidupi berkah. Berkah itu tak lain adalah relasi indah dengan sosok yang memberikan cinta tanpa syaratnya. Gambaran Allah seperti inilah yang tampaknya lebih melegakan orang beragama daripada gambaran Allah yang menghitung jasa budaknya. Mungkin pantaslah setiap orang beragama bertanya pada dirinya sendiri: gambaran Allah manakah yang dihidupnya dan sejauh mana gambaran itu memberinya sukacita sejati, memberi passion dalam hidupnya, memberi api yang memantik hidup bersama.
Tuhan, mohon rahmat supaya keribetan hidup kami tak mengusik kebahagiaan kami karena pengalaman akan cinta-Mu yang tanpa syarat. Amin.
HARI MINGGU PEKAN BIASA II C/2
16 Januari 2022
Yes 62,1-5
1Kor 12,4-11
Yoh 2,1-11
Categories: Daily Reflection