Tak bertele-tele caranya:
- Kasihilah musuhmu.
- Berbuat baiklah pada yang membencimu.
- Mintakanlah berkat pada yang mengutukmu.
- Berdoalah bagi yang mencacimu.
add. 1. Kata kerja cinta atau kasih di situ bukan kata kerja yang mengindikasikan relasi pertemanan; dan memang Guru dari Nazareth tidak meminta para muridnya untuk berteman dengan orang-orang yang memusuhi mereka. Kata kerja yang dipakai di situ ialah ἀγαπᾶτε (agapate, bentuk imperatif bagi orang kedua jamak alias kalian); kata yang tidak populer dalam kultur Yunani kuno; dan karena itu malah menunjukkan nuansanya sebagai pekerjaan yang tidak muncul secara alamiah. Betul, kalau Anda dicederai, secara natural Anda bisa menjerit atau mencicit lalu membalaskan sakit hati dan fisik Anda. Kata kerja ἀγαπᾷν (agapan) tidak mungkin dilekatkan pada tindakan seperti itu. Cinta yang disodorkan Guru dari Nazareth ini berarti cinta tanpa syarat: mendisposisikan diri sebagai ‘hamba’ bagi siapa saja yang membutuhkan pertolongan.
add. 2. Kata kerja membenci di situ bukan semata kata sifat yang menyentuh ranah perasaan orang. Saya tidak menonton Layangan Putus, tetapi barangkali ada tokohnya yang bukan hanya sekadar menaruh rasa iri dan benci terhadap yang lainnya, melainkan juga sudah sampai pada tahap lanjut untuk mencederai orang lain, menghancurkan hidup orang lain, dan seterusnya. Nah, terhadap orang yang membenci Anda seperti itu, perintah Guru dari Nazareth tetap sama: berbuat baiklah terhadap mereka. Lah, bukannya malah menjadi-jadi tuh Mo kalau dibiarkan, apalagi kalau kita baik-baikin mereka? Bergantung ‘baik-baikinnya’: kalau itu berarti sekadar memenuhi keinginan mereka, ya tentunya menjadi-jadi. Berbuat baik yang disodorkan Guru dari Nazareth ini maksudnya merujuk pada cinta tanpa syarat tadi: apa pun yang diperbuat lawan, bahkan Anda tetap berpegang pada prinsip dan sebisa mungkin, jika berkonfrontasi, tetap dengan agenda untuk membantunya supaya semakin bertumbuh sebagai manusia, bukan ikut-ikutan memupuk kebencian.
add. 3. Anda kerap mendengar cerita kutuk mengutuk orang jadi kodok, monyet, dan seterusnya. Mengutuk berarti menargetkan ketiadaan atau kematian makhluk tertentu. Guru dari Nazareth memberi perintah sebaliknya: kepada mereka yang mengutuk Anda, Anda diminta memintakan berkat bagi mereka. Artinya, memintakan rahmat kehidupan; mirip dengan yang kedua tadi, supaya mereka boleh mengalami perkembangan hidup sebagai makhluk; lebih penuh sebagai manusia, lebih bahagia, dan seterusnya. Wah wah wah, mandat ini kok lebay gitu ya, Mo; siapa yang sanggup hidup menanggung ketidakadilan kek gitu? Betul, makanya…
add. 4. Diperlukanlah doa yang autentik; dan ini jelas maksudnya bukan doa ritual yang dikembangkan dalam agama [ini sama sekali tidak berarti bahwa doa ritual agama itu omong kosong]. Doa yang autentik berarti menyelaraskan diri dengan apa yang kiranya dikehendaki Allah. Ini senantiasa dalam pencarian, juga dengan aneka cara yang ditawarkan agama.
Contoh konkret kemudian disodorkan, Anda bisa membacanya sendiri. Saya hanya mengingatkan apa yang saya bahas bulan lalu dalam posting Apa Berkahmu. Yang dipersoalkan Guru dari Nazareth bukanlah jasa, melainkan χάρις (kharis), yang saya memang tak tahu bagaimana menerjemahkannya. Ada nuansa sifat gratis, ketulusan, tetapi juga mengandaikan kebijaksanaan tertentu. Konon ada ungkapan naskah kuno berbunyi begini: Biarlah sedekah berkeringat di tangan Anda sampai Anda tahu kepada siapa sedekah itu paling baik Anda berikan.
Bukankah orang berduit bisa saja dengan entengnya membagi-bagikan kekayaannya tanpa secara bijak memikirkan kebaikannya itu nanti ujungnya bagaimana? Bukankah tindakan kompulsif bisa juga justru membawa sedekah kehilangan maknanya?
Tapi sudahlah, ini cuma pikiran orang yang gak punya banyak duit.🤭
Pokoknya, semoga semua makhluk (sungguh-sungguh) berbahagia. Amin.
HARI MINGGU BIASA VII C/2
20 Februari 2022
1Sam 26,2.7-9.12-13.22-23
1Kor 15,45-49
Luk 6,27-38
Categories: Daily Reflection