Anda tidak harus jadi perfeksionis untuk menengarai adanya hal yang ‘lain daripada yang lain’, nyeleneh, aneh, dan sejenisnya. Mata Anda secara instingtif akan tertambat, entah sebentar atau lama, pada hal-hal tadi, entah yang Anda sukai atau yang Anda benci. Barangkali keterangan terakhir ini adalah salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam membaca teks bacaan hari ini.
Saya kira ada sebagian orang yang menafsirkan secara bebas nasihat “Keluarkanlah dulu balok yang ada di matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan jerami dari mata saudaramu!” dengan frase singkat “Ngaca dulu!” atau dengan falsafah menunjuk orang lain: satu jari mengarah ke orang lain dan tiga jari mengarah ke diri sendiri. Ya namanya tafsir bebas, siapa yang mau melarang?
Belum lagi, bisa juga frase “ngaca dulu” tadi jadi alasan orang untuk menunda kritik karena begitu ngaca, barangkali orang mendapati dirinya tak lebih baik dari orang lain. Akhirnya, semuanya “kembali ke masing-masing” pribadi, dan tak dibutuhkan lagi nasihat atau kritik.
Meskipun tak dilarang, saya tidak akan mengambil tafsiran bebas seperti itu karena mengabaikan pengertian struktur kalimatnya sendiri. Bukankah kalimat itu jelas menunjukkan hubungan kausalitas alias sebab akibat? “Jika balok di matamu tersingkir, maka engkau akan melihat dengan jelas!” Perkara “melihat dengan jelas” dimaksudkan untuk mengeluarkan jerami atau debu atau belek di mata orang lain, itu perkara lain, bukan?
Bisa jadi salah satu balok itu adalah like-dislike tadi: orang jadi ‘kritis’ karena like-dislike. Di situ, tingkat kritisnya dibutakan oleh like-dislike. Ada banyak hal lain yang bisa jadi balok dan membuat orang jadi seperti orang yang diwaspadai Guru dari Nazareth: orang buta yang menuntun orang buta. Kalau begitu, ada baiknya “ngaca dulu” atau “tiga jari mengarah ke diri sendiri” dimengerti sebagai undangan untuk senantiasa memperluas wawasan, memperbanyak perspektif, mendalami perkara sehingga yang timbul darinya adalah kritik atau nasihat yang bernas. Menganggap diri berwawasan luas dan mengabaikan orang di hadapannya sebagai manusia, sebagai saudara, bisa jadi merupakan tanda-tanda kebutaan; lha itu lebih susah lagi untuk “ngaca dulu”.
Tuhan, berilah kami ketekunan untuk “melihat dengan jelas”, memperluas wawasan hidup kami dalam terang cinta-Mu. Amin.
MINGGU BIASA VIII C/2
27 Februari 2022
Sir 27,4-7
1Kor 15,54-58
Luk 6,39-45
Categories: Daily Reflection