Ini bukan review novel Kahlil Gibran atau film bikinan Denny Siregar Production & Maxima Pictures, cuma catatan pribadi setelah menonton film berbintang aktor Nicholas Saputra dan rombongannya. Catatan ini pun tidak berpretensi sebagai ulasan sinematografi, akting, genre, ritme, gaya naratif, dan sebagainya. Ini juga bukan untuk endorsement. Kalau endorse pun, paling cuma satu dua dari Anda yang berminat. Mungkin Anda lebih gemar film horor (yang untuk saya malah lucu) daripada film seperti ini.
Eniwoeeei, saya sudah pernah singgung sih pengalaman tetangga kamar saya yang memproduksi film layar lebar dan saya tahu untuk itu butuh puluhan milyar rupiah dan dia pasti bisa serangan jantung mendadak kalau tidak dibantu mobilisasi penonton lewat lembaga pendidikan, misalnya. Jadi, saya menonton Sayap-Sayap Patah ini juga karena sadar bahwa biaya film tidaklah murah, dan saya hanya bisa menyumbang nol koma nol nol nol nol nol sekian persen. Lha kenapa mau nyumbang film ini, kok tidak nyumbang Penghamba Genderuwo 303 saja meskipun sumbangannya juga tak seberapa?
Lho ya suka-suka saya kan mau nyumbang siapa atau yang mana? Wkwkwkwkwk…
Haiya itu tidak menjawab pertanyaan….
Seperti semesta mendukung, Sayap-Sayap Patah ini seakan sedang menunjukkan sketsa keadaan sebenarnya. Gampang saja memahaminya. Sayap itu umumnya genap sepasang, yang ganjil biasanya merujuk pada ekor. Katakanlah dua: kiri dan kanan. Apa jadinya kalau yang kiri patah? Bisakah sayap kanan menjalankan fungsinya?
Sekarang ini, barangkali perhatian banyak tersedot pada kasus FS dan istrinya. Barangkali ini menjadi pertaruhan kredibilitas lembaga kepolisian dan sayap-sayap patah bisa dimengerti dalam ranah itu juga: sementara yang satu berjibaku untuk menghadapi terorisme, ada yang lain yang justru menebar teror. Ada keterpecahan dalam lembaga, yang sebetulnya adalah cerminan keterpecahan dalam jagad cilik pribadi manusia, dan solusi tak pernah tercapai tanpa transparansi.
Yang spontan mengesan bagi saya begitu film berakhir ialah bahwa film ini menyodorkan perspektif korban dengan ironi hidup mati manusia. Tidak bisa saya sampaikan spoiler di sini, tetapi saya memang mencoba melihat perspektif yang disodorkan film ini, dan itu adalah perspektif korban, bukan perspektif pemenang, bukan perkara polisi atau terorisnya kalah. Saya kira, tak banyak gunanya berpikir tentang menang-kalah kalau orang sungguh-sungguh mau melakukan transformasi. Tak ada transformasi dalam masyarakat yang tidak berangkat dari perspektif korban.
Saya kira, pantas disyukuri bahwa keluarga korban tidak tinggal diam dengan kejanggalan kematian anggotanya. Mungkin juga pantas disyukuri bahwa masih ada anggota institusi yang sungguh ingin menyembuhkan sayap yang patah, betapapun mereka seperti berhadapan dengan negara dalam negara. Sayangnya, saya memang cuma bisa omong, tetapi saya mendoakan, juga mengundang Anda untuk mendoakan (entah menonton film ini atau tidak) para pemimpin yang punya posisi strategis untuk transformasi: supaya mereka terhindarkan dari godaan untuk menjadi toxic leaders dengan menjadi lebih transparan, alih-alih mengikuti perilaku badut politik.
Categories: Personal Notes