Kalau betul Pancasila itu falsafah hidup bangsa Indonesia, rumusan sila-silanya bisa jadi seperti ungkapan bijak simbok-simbok di pasar: urip ora bakal tambah enak, ning awake sing kudu tambah kuat; atau, bisa juga dipadankan dengan nasihat bijak Jawa aja adigang, adigung, adiguna (janganlah sok kuasa, sok besar, sok sakti) atau sindiran Dayak Ngaju karas nyahu tapi jatun ujan (keras petir tapi tanpa hujan).
Memang sih tetap beda karena proses terumusnya Pancasila itu melewati diskusi intelektual bahkan sampai menimbulkan konflik laten bagi beberapa golongan dalam sejarah Indonesia. Sedangkan simbok-simbok di pasar itu bisa jadi mengambil rumusan dari pendahulunya dan mencocok-cocokkannya dengan pengalaman hidup mereka. Pun jika rumusan itu berupa nasihat bijak, acuannya tetap pada pengalaman subjektif penuturnya, bukan diskusi intelektual.
Entah sebagai hasil wacana intelektual atau refleksi pengalaman subjektif, itu tipis-tipis aja, bagaikan thin description dalam etnografi, bak tulang kerangka yang membutuhkan daging supaya lebih jelas wujudnya. Sejujurnya, keduanya tidak lebih dari ‘kata-kata kosong’ yang mesti diisi dengan unsur-unsur lain supaya berisi. Akibatnya, si A bisa bilang begini, si B bisa bilang begitu. Mari ambil salah satu contoh kata-kata kosong itu: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Lho kok dibilang kosong? Bukannya dah jelas bahwa bahwa bangsa Indonesia itu percaya satu Tuhan? Tetot, justru itulah persoalannya. Bersama Muhammad Iqbal, filsuf Pakistan, Anda bisa bertanya dulu dan menjelaskan apa maksudnya Tuhan dan apa maksudnya satu sehingga bisa membuat pernyataan bahwa Tuhan itu satu. Kalau tidak, falsafah itu tiada artinya selain jadi slogan dan semua orang bisa suka-suka omong apa saja tentang itu.
Di situlah letak perbedaan antara falsafah dan filsafat. Falsafah cenderung menerima keyakinan ideologis, sementara filsafat mempertanyakannya, justru supaya ideologi itu tak kosong melompong. Tentu saja, dari segi semantik, filsafat dan falsafah sama-sama merujuk kata philosophy. Akan tetapi, KBBI menempatkan falsafah sebagai salah satu arti filsafat di samping logika, estetika, metafisika, dan epistemologi.
Artinya, filsafat lebih dari sekadar “anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling dasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat” atau pandangan hidup. Ada metode tertentu untuk berfilsafat. Maka dari itu, dibandingkan dengan falsafah, yang adalah suatu pandangan hidup, filsafat memberi cakrawala yang lebih luas sekaligus lebih dalam. Apa yang memungkinkan filsafat memiliki kedalaman dan keluasan itu?
Mari kita belajar dari fotografi untuk memahami perkara kedalaman dan keluasan ini.
Dalam fotografi, ada aspek yang disebut depth of field (DOF) yang salah satu prinsipnya begini:
Semakin besar bukaan lensa kamera (f/1.4), semakin pendeklah jarak area fokus foto. Biasa dikenal dengan istilah bokeh. Sebaliknya, semakin kecil bukaan lensa kamera (f/16), ceteris paribus (jarak subjek dan panjang fokus lensanya tetap), semakin panjang atau dalamlah jarak area fokusnya. Contoh fotonya berikut ini.
DOF dangkal | DOF dalam |
![]() | ![]() |
Tentu foto di bawah ini lebih jelas menunjukkan perbedaan antara DOF dangkal dan DOF dalam.
Kira-kira begitulah filsafat bekerja: membuat objek kajiannya begitu mendalam sehingga dapat mencakup ranah terdekat di pelupuk mata sampai yang terjauh. Sayang, saya kehilangan klip video yang menunjukkan keluasan kajian filsafat, tetapi dari objek foto di atas juga bisa dimengerti bahwa kedalaman DOF itu juga berarti keluasan area fokus lensa juga. Jadi, filsafat memungkinkan orang memperluas dan memperdalam kajiannya.
Apa yang memungkinkan filsafat membuat kajian sedalam-dalam dan seluas-luasnya itu?
Dengan kata lain, faktor apa yang membuat DOF filsafat jadi lebih jauh atau dalam atau luas, bukankah realitasnya sama dengan realitas yang direfleksikan oleh falsafah, atau mungkin dibahas antropologi, ekonomi, geologi, kedokteran gigi, manajemen, ekologi, politik, dan sebagainya?
Untuk membantu menjawab pertanyaan itu, mari lihat dua istilah teknis dalam filsafat: objek formal dan objek material. Bisa diketahui dari kolase foto kedua bahwa objek yang sebetulnya jadi sasaran itu ya sama: seluruh keping puzzle di meja (atau lantai). Seluruh keping puzzle di meja itulah yang disebut sebagai objek material, objek yang jadi fokus atau sasaran kajian atau pembahasan.
Sebaliknya, fitur dalam lensa memengaruhi bagaimana objek material disorot. Dalam hal ini, bukaan lensanya adalah objek formalnya: semakin besar bukaannya, semakin sempit pula fokus terhadap keseluruhan objek material; sebaliknya, semakin kecil bukaannya, semakin luas dan dalam pula fokusnya. Dengan demikian, yang membedakan filsafat dari ilmu lain adalah objek formalnya.
Pada kenyataannya, apakah bukaan, aperture, atau objek formal filsafat itu?
Dialah yang disebut RASIONALITAS manusia. Dengan rasionalitasnya, filsafat mempertanyakan segala sesuatu dengan kata tanya ‘mengapa’, misalnya. Tidak ada jawaban final karena setiap jawaban akan dipertanyakan lagi: mengapa? Maka, seorang filsuf bisa datang bertanya kepada Anda: mengapa Anda makan? Jawaban ‘karena lapar’ pun yang tampaknya sudah jelas, bisa dipersoalkan: mengapa orang lapar mesti makan? Orang makan untuk hidup atau hidup untuk makan? Dan seterusnya.
Bukankah ilmu-ilmu lain memakai rasionalitas juga? Tentu saja, mosok psikologi, antropologi, etnologi, arkeologi, dan lain-lainnya tidak memakai rasionalitas! Akan tetapi, ilmu-ilmu lain itu memakai bukaan besar untuk objek (material) tertentu atau objek formal yang lebih sempit sehingga pertanyaannya akan berada di garis fokus tertentu. Jadi, kedalamannya hanya berada dalam perspektif dengan batas-batas tertentu.
Itu seperti dalam ilmu gerontologi, misalnya. Sama-sama bicara mengenai manusia seperti filsafat manusia, tetapi gerontologi merujuk pada manusia di penghujung usia hidupnya. Objek material gerontologi lebih sempit karena objek formalnya sudah dibatasi oleh perspektif tertentu. Jadi, gerontologi tidak akan mempersoalkan kenakalan anak remaja bahkan meskipun bisa jadi orang lanjut usia itu dulunya anak remaja yang nakal dan perlu disentil atau dijewer.
Categories: Reference
You must be logged in to post a comment.