Gelap Habis Terang Terbit

Dengan segala hormat kepada tokoh perempuan Indonesia yang diperingati hari ini, bersamaan dengan Idul Fitri, saya bagikan refleksi kecil Paska. Tulisan-tulisan R. A. Kartini menyiratkan optimisme akan terjadinya perubahan sosial yang mengangkat martabat perempuan. Dalam arti tertentu, optimisme itu menjadi self-fulfilled prophecy. Betullah kenyataannya: habis gelap terbitlah terang.

Pada masa Paska ini, sekurang-kurangnya dari lagu-lagu Madah Bakti yang saya pakai, yang kerap terdengar sebagai lirik kebangkitan ialah kalimat semacam: di duka tersirat suka, wartakan dengan lantang; di maut tersirat hidup, sambutlah dengan girang. Memang itulah yang dimaksudkan sebagai Paska, yang sekali lagi, dengan segala hormat kepada R. A. Kartini, berbeda nuansa dengan konsep linear habis gelap terbitlah terang.

Tentu saja, R. A. Kartini bukannya tak menghidupi Paska. Pada kenyataannya, perjuangan beliau untuk mengangkat derajat perempuan justru menguak semangat Paska itu. Judul kumpulan suratnya, dengan demikian, adalah optimisme atau harapan atau keyakinan bahwa perjuangannya itu suatu saat akan menghasilkan buah yang menerangi banyak orang; tetapi proses yang dijuduli itu sendiri tak lain adalah manifestasi kebangkitan.

Paska mungkin lebih dekat dengan falsafah ‘yin yang’ daripada perkara resiprositas atau hukum sebab-akibat. Dalam setengah lingkaran putih ada titik hitam. Dalam setengah lingkaran hitam ada setitik putih. Paska melantangkan yang tersirat dalam lirik lagu yang saya sebut tadi: hidup dan suka di tengah-tengah kematian dan duka. Paradoks memang, tetapi apalah arti iman tanpa paradoks?

Categories: Daily Reflection