Barisan Sikat Hati

Beberapa hari lalu ada opini di harian nasional dengan judul yang menyinggung profesi saya; dan saya tersinggung, tetapi bersyukur karena ada orang lain yang lebih berkompeten menyampaikan uneg-uneg saya dengan argumentasi yang lebih komplet. Pokoknya, dosen itu, apa pun pangkat dan jabatannya, tak lain hanyalah buruh [yang saya gemes tuh kenapa dosen gak join Serikat Buruh sih biar bisa ikut demo-demo gitu?😅 Oh, tapi setelah ada artikel itu saya ikut tandatangani petisi ding; itu kan juga demo ya?]. Status buruh oke-oke saja dan saya tak merasa butuh eufemisme semacam karyawan swasta dengan aneka jabatan mulai dari asisten ahli sampai guru besar. Semuanya ya buruh.

Yang saya tidak suka ialah bos buruh ini adalah sistem administrasi yang terpusat ala NKRI. Saya bukan penentang NKRI, tetapi itu tak berarti setuju pada kebusukan NKRI: pajak negara akhirnya hanya jadi jarahan atau rayahan sistem administrasi yang dikendalikan barisan sikat hati. Saya kira, itu tak hanya terjadi di ranah perpajakan, tetapi juga di ranah lainnya, termasuk, ironisnya kalau betul begitu, pendidikan. Dosen tak jauh dari status sebagai komoditi bisnis pendidikan yang dikelola dengan sistem yang memberi aneka proyek. NKRI ini begitu kaya dan keserakahan pating tlecek alias ubiquitous kalau bukan omnipresent (lha bedane apa). Itu mengapa setelah hampir 80 tahun merdeka ya cuma luas wilayah dan jumlah penduduknya saja yang besar. Apakah bangsanya besar, God knows.

Teks bacaan hari ini merefleksikan adanya orang yang sakit hati karena kecewa dan kemudian meninggalkan komunitasnya. Refleksi itu tetap relevan sampai sekarang. Mestilah ada orang-orang yang kecewa dengan agama, dengan skandal para pemukanya, dengan hirarki, dengan manipulasi, dan seterusnya. Orang-orang ini lalu bisa menjelek-jelekkan institusi yang bersangkutan, seakan-akan mereka sendiri terlepas dari kejelekan itu. Tomas adalah representasi barisan sakit hati yang kemudian sadar bahwa memutuskan diri dari komunitas yang membesarkannya berarti memutuskan diri dari sumber hidupnya sendiri.

Akan tetapi, ini bukan persoalan oposisi benar-salah: Tomas salah, komunitas para murid benar; sains salah, agama benar; teori evolusi sesat, teori penciptaan benar; demokrasi amburadul, teokrasi manjur; dan seterusnya. Bisa jadi malah agama menjadi seperti Tomas yang memisahkan dari komunitas kehidupan: menolak sains, teori evolusi, sekularisasi, demokrasi, dan seterusnya. Bisa jadi sekularisasi, demokrasi, menjadi seperti Tomas yang menolak agama.

Makna kebangkitan justru menantang aneka eksklusi serampangan seakan-akan di bawah kolong langit ini ada kebenaran 100% tanpa relasi dengan ini itu. Tuhan dapat ditemukan dalam dinamika relasi komunitas, yang dibebaskan dari aneka ketakutan. Begitulah, baik instituti agama atau pendidikan tentu memerlukan administrasi, tetapi administrasi pun tidak semestinya dipakai untuk menjadikan objeknya sebagai komoditi. Tertib administrasi pantas dipuji sejauh meningkatkan kinerja yang memperlakukan orang-orangnya sebagai manusia yang punya hati dan perasaan ikikikikikik.

Mungkin barisan sakit hati ada gunanya sejauh bisa membongkar barisan sikat hati. Celakanya alias susahnya, pembongkaran itu tak bisa dilakukan hanya dengan modal memutuskan diri dari komunitas. Syukurlah, Tomas kembali ke komunitasnya; dia yang tak takut kepada mereka yang menentangnya di luar komunitas, tetap kembali ke komunitas untuk menimba jejak pelayanan gurunya sebagai sumber kekuatan hidup.

Tuhan, mohon rahmat untuk membangun relasi yang memungkinkan transparansi dan respek terhadap beragam pribadi. Amin.


MINGGU PASKA II A/1
Hari Minggu Kerahiman Ilahi
16 April 2023

Kis 2,42-47
1Ptr 1,1-19
Yoh 20,19-31

Posting 2020: Iman Tuyul
Posting 2017: Percaya Itu Indah

Posting 2014: Jam Kosong Itu Menyenangkan!
*