Orang Sunda dan Jawa tampaknya sepakat mengenai arti kata rungkad bagaikan pohon yang roboh sampai seakar-akarnya. Kisah dalam teks bacaan hari ini menggambarkan bagaimana suasana rungkad dialami oleh dua karakter yang sama-sama bucin terhadap sosok Guru dari Nazareth, dan begitu objek bucinnya ilang, ambyarlah hidup mereka; dan sebagian lirik lagu Rungkad ini cocok untuk siapa saja yang mendapati diri bucin.
Anehnya, dalam video ini lirik yang paling saya sukai ada di menit 3:15-17. Kalau mau dengar dan joget sekalian, silakan. Kalau gak mau dengar tapi mau langsung joget, gak ada yang nglarang juga sih.
Lirik yang juga bikin saya tertawa adalah “Saiki aku wis sadar, terlalu goblok mencintaimu.” Dulu saya kerap mendengar salah satu kata dalam kalimat itu saat menonton Liga Inggris bersama penggemar salah satu klub Manchester. Mari kita lihat apa artinya “terlalu goblok mencintaimu” dengan terang teks bacaan hari ini.
Anda berhak menafsirkan “terlalu goblok mencintaimu” sebagai simpulan bahwa “bego’lah mencintaimu” karena kalimat lain menyatakan “stop mencintaimu (karena) gawe aku ngelu” (bikin aku pusing). Alhasil, rungkad betul dan cinta berhenti di situ, seperti dialami dua murid yang balik ke Emaus. Nota bene: kisah itu bukan laporan peristiwa atawa Berita Acara Pemeriksaan, melainkan penggambaran penulis mengenai orang bucin yang rungkad dan memisahkan diri dari komunitas mereka. Rungkad forever.
Saya sodorkan cara tafsir lain yang disinggung dalam teks bacaan hari ini. Di sini, “terlalu goblok mencintaimu” berarti “bego’lah caraku mencintaimu”! Alhasil, “stop mencintaimu (karena) gawe aku ngelu” itu berarti “stop caraku mencintaimu”! Jadi, problemnya bukan mencintaimu atau mencintainya; mencintai orang kedua atau orang ketiga; melainkan caranya mencintai. So, ini soal cara bertindaknya.
Cara mana yang bego‘ dalam lagu tadi? “Terlalu percaya marga mung nyawang rupa.” Orang terlalu percaya karena hanya memandang wajah, mestinya liat duit dan rumahnya juga dong🤭. Tentu, rupa dalam bahasa Jawa tak terbatas pada wajah, tapi juga termasuk apa saja yang kasatmata. Itu berarti menurut lagu tadi, cara mencintai yang tergantung pada apa yang kasatmata doang akan bikin rungkad forever.
Cara mana yang bego’ dalam teks bacaan hari ini? Mirip-mirip sih: para murid itu gemes dengan omongan teman-teman mereka yang bilang bahwa Guru mereka telah bangkit. Padahal, mereka cuma gak menemukan mayatnya dan katanya malaikat bilang bahwa Guru itu telah bangkit tapi mereka sendiri gak liat orang yang telah bangkit itu. Itu artinya mereka maksa bahwa kebangkitan itu perkara rupa atau wujud.
Memang ada betulnya juga sih. Kebangkitan, kalau cuma ideologi, ya omdo, nato, mitra nggedebus. Mesti ada wujudnya dong. Problemnya, kebangkitan itu tidak dibentuk dari kata benda, tetapi dari kata kerja bangkit. Piye jal melihat orang bangkit tanpa melihatnya jatuh? Gimana orang bisa mengakui bahwa suatu perusahaan mengalami kebangkitan tanpa menerima bahwa perusahaan itu sebelumnya hampir pailit?
Lha itulah bego‘nya para murid tadi: mereka gak mau melepaskan ideologi mereka bahwa jagoan itu harus selalu menang, harus sempurna [mereka belum tahu bahwa Nabi Muhammad bolak-balik menang kalah dalam perjuangannya; mereka belum tahu bahwa kesempurnaan itu terletak pada sinkronnya kehendak Allah dan cara bertindak manusia; kalah menang ya lain perkara]; nabi dan mesias itu mestilah membebaskan mereka dari penjajahan bangsa asing atau penjajahan bangsa sendiri. Mereka tak terima bahwa Guru mereka itu dihabisi oleh bangsanya sendiri, dan setelah tiga hari hanya digosipkan telah bangkit tapi gak kelihatan wujudnya! Mereka gak terima bahwa objek bucin mereka itu rungkad habis-habisan.
Untuk kesekian kalinya saya hanya bisa menyayangkan terjemahan teks hari ini: “Ia lenyap dari tengah-tengah mereka.” Menurut saya, Ia tidak lenyap, tetap ada di tengah-tengah mereka, tetapi ‘lenyap dari pandangan mereka’. Artinya, pada saat sadar akan gelora hati dan pikiran mereka terbuka (saiki aku wis sadar), mereka tidak lagi mung nyawang rupa. Tak mengherankan, orang yang tadi membuat mereka mengerti Kitab Suci itu lenyap dari pandangan mereka, tapi kata-kata dan tindakannya meresap dalam hati dan budi mereka.
Mereka ngeh bahwa Mesias itu justru mesti rungkad, bukan demi ambyarnya sendiri, melainkan demi virulensi kultur kehidupan. Kalau begitu, kebangkitan itu tidak ada ‘di luar sana’, tetapi ‘di dalam sini’: cara mencintai yang basisnya bukan egosentrisme, yang prinsipnya bukan balas-balasan, yang tak bernilai do ut des (berbuat baik supaya mendapat balasan kebaikan),yang kriterianya bukan perkara wang sinawang.
Di sini, mereka yang hidupnya terasa broken, dalam arti mana pun, berpeluang untuk menindaklanjutinya dengan berkat supaya dapat dibagikan dan memberi kehidupan. Dalam tradisi Gereja Katolik, Ekaristi mengundang mereka yang merayakannya untuk mengasimilasi hidup Mesias yang rungkad tadi: memberikan dirinya untuk jadi broken, untuk dibagi-bagikan kepada dunia sehingga kehidupan terpelihara dalam cinta Allah sendiri.
Tuhan, mohon rahmat jiwa besar dan rela berkorban supaya hidup kami yang rapuh dan rungkad ini dapat kami berikan sebagai berkat cinta-Mu. Amin.
HARI MINGGU PASKA III A/1
23 April 2023
Kis 2,14.22-33
1Ptr 1,17-21
Luk 24,13-35
Posting 2020: Misa Streaming Lagi
Posting 2017: Bumi Datar Ya Ampun
Posting 2014: Happiness, Inventing The Meaning *
Categories: Daily Reflection